Senja Terakhir di Teras Kenangan
(Selamat jalan Bapak Rafael Priyono Mintodihardjo)
Senja terakhir ini terasa berbeda di teras tua yang biasa menjadi saksi obrolan penuh tawa mereka. Hari ini, hanya ada diam, diselingi isak tangis yang tertahan. Teras yang biasanya hangat itu kini diselimuti sunyi yang mencekam, dingin seperti kenyataan yang tak ingin mereka terima. Seorang sahabat, sosok yang kerap hadir menghidupkan percakapan, yang tak pernah pelit berbagi cerita dan inspirasi, kini telah pergi. Kepergiannya bukanlah kisah yang akan mereka diskusikan bersama lagi, melainkan kenyataan pahit yang harus mereka hadapi.
Di depan peti yang menutup tubuh sahabat tercinta, ketiga sahabat yang tersisa hanya bisa menunduk. Mata mereka sembab, dada mereka sesak, seolah masih berharap sosok yang ada di dalam peti itu akan bangun dan kembali tersenyum, kembali meraih secangkir kopi, dan melanjutkan cerita yang belum usai. Tapi tidak ada lagi suara tawa, tidak ada lagi kata-kata. Yang tersisa hanya hening dan perih.
Ketika putra pertama almarhum berdiri di samping peti dan mulai berbicara, suaranya bergetar. Air mata jatuh tak tertahankan, dan ia terisak di tengah-tengah kalimat, sementara sang ibu merangkulnya dengan tegar.
"Ayah selalu bilang, tulis setiap cerita dengan cinta, dan bagikan untuk orang-orang. Karena cerita adalah cara kita mengikat kenangan, cara kita menjaga yang kita sayang." Namun kini, kenangan itu harus mereka ikat tanpa kehadiran sosok yang begitu mereka kasihi.
Bagi ketiga sahabat yang tersisa, senja ini tak ubahnya sebuah perpisahan yang terlalu cepat. Mereka menatap peti jenazah itu dengan hati yang retak, berharap ada waktu lebih untuk sekadar mengucapkan selamat tinggal.
Tapi hidup tak pernah memberi mereka pilihan. Hari ini mereka datang untuk mengucapkan doa terakhir, dengan janji dalam hati, untuk menuliskan kenangan ini, demi sahabat yang pergi dengan sepotong jiwa mereka di sisinya.
Ketiga sahabat yang duduk di deretan depan menunduk dalam-dalam, tak kuasa menahan air mata. Mereka mengenang percakapan terakhir mereka dengan sang sahabat lima tahun lalu di tempat yang sama ini.
Saat itu mereka berjanji akan bertemu lagi, namun kali ini, pertemuan itu bukanlah pertemuan seperti biasanya. Mereka di sini untuk mengantar sang sahabat pada perjalanan terakhirnya.
Senja yang remang seakan menjadi saksi atas janji yang pernah terucap; janji untuk terus menulis, untuk menjaga semangat literasi yang telah mereka rawat bersama, dan untuk selalu mengingat sahabat mereka dalam setiap kalimat yang dituliskan. Mereka sadar, kepergian sahabat ini bukanlah akhir, melainkan permulaan bagi kenangan yang akan terus hidup dalam karya-karya mereka.