Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

Menjangkau Sesama dengan Buku

(Fiksi Tengah Malam): Saatnya Bertindak, Bukan Menunggu

Diperbarui: 28 Oktober 2024   23:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(olahan GemAIBot, dokpri)

SAATNYA BERTINDAK, BUKAN MENUNGGU

Di tengah lapangan yang luas, para peserta latihan berbaris tampak rapi dan penuh semangat. Keringat mengucur deras, menetes di wajah dan membasahi seragam mereka. Setelah selesai dengan latihan berbaris, instruktur berteriak, "Berlarilah, jangan duduk lagi!" Suaranya tegas, memecah keheningan yang sejenak menyelimuti lapangan. Seketika, para peserta pun berlari mengitari lapangan, mencoba menyesuaikan diri dengan irama langkah yang lebih cepat. Wajah-wajah mereka mencerminkan kelelahan, tetapi di dalamnya tersirat tekad yang kuat untuk terus maju.

Tidak jauh dari tempat latihan itu, di ruang rapat yang tenang, para pembantu presiden baru saja menyelesaikan retret tiga hari di Magelang. Acara tersebut diadakan untuk merefleksikan tugas mereka sebagai abdi negara sekaligus menguatkan semangat kebersamaan dan dedikasi mereka terhadap bangsa. Setelah tiga hari yang penuh dengan diskusi mendalam dan evaluasi diri, mereka kembali ke ibu kota dengan satu pesan penting yang terus terngiang-ngiang dalam benak mereka: "Saatnya berlari untuk bekerja bagi bangsa, bukan menunggu diganti setelah tiga bulan jika tidak bisa bekerja."

Di ruang kerjanya yang luas, Bapak Sukardi, salah satu pembantu presiden, duduk sambil memandang jauh ke arah jendela yang menghadap ke Monas. Ia merenungkan pesan itu, menyadari betapa beratnya tanggung jawab yang kini ada di pundaknya. Selama ini, organisasinya memang besar, dengan banyak departemen dan biro yang bekerja di bawahnya, tetapi ia merasa ada yang kurang. Meskipun struktur organisasinya tambun, lamban dalam implementasi menjadi kritik utama yang dilontarkan banyak pihak. Ia harus mengakui, kritik itu ada benarnya.

Sambil menyeruput kopi pagi, ia memutar kembali dalam ingatannya pertemuan terakhir di Magelang. "Tidak ada lagi ruang untuk kelambanan. Kita ini pelari, bukan penunggu," ucap seorang mentor dalam retret tersebut. "Jika kita duduk terlalu lama, bangsa ini akan tertinggal. Kita perlu menjadi katalis perubahan."

Dengan semangat yang kembali berkobar, Sukardi langsung memanggil para stafnya untuk rapat dadakan. Di hadapan mereka, ia berkata, "Kita perlu mulai berlari. Saya tidak ingin lagi mendengar alasan birokrasi yang memperlambat implementasi kebijakan. Kita akan ubah cara kita bekerja mulai hari ini."

Ia mulai dengan mempersingkat jalur komunikasi antar-departemen, mengurangi tahapan birokrasi yang tak perlu, dan memberikan wewenang lebih besar kepada stafnya untuk mengambil keputusan dengan cepat. Inisiatif pertama yang ia lakukan adalah mempercepat implementasi program kesehatan masyarakat di daerah-daerah terpencil yang selama ini tertunda karena berbagai kendala.

Saat mereka berusaha mempercepat langkah, tantangan demi tantangan muncul. Birokrasi yang sudah lama terbiasa dengan proses berbelit-belit kini mulai merasa terganggu dengan perubahan ritme kerja yang lebih cepat. Ada yang mengeluh, ada yang mulai takut kehilangan posisi nyaman, dan tidak sedikit pula yang memilih untuk mundur secara diam-diam karena merasa tidak lagi mampu menyesuaikan diri.

Namun, bagi Sukardi, hal ini adalah ujian awal untuk membuktikan bahwa mereka bisa beradaptasi atau tersingkir oleh keadaan. Ia tak ingin organisasinya hanya sekadar besar di atas kertas tetapi lamban dalam tindakan nyata. Suatu hari, ia mengumpulkan kembali timnya dan dengan tegas menyampaikan, "Saya tidak peduli seberapa besar organisasi kita. Saya peduli seberapa cepat kita bisa membuat perubahan. Jika kita tidak bisa bekerja untuk rakyat, maka lebih baik kita serahkan posisi ini kepada mereka yang sanggup."

Perubahan yang ia terapkan perlahan mulai menunjukkan hasil. Program-program yang dulu hanya menjadi wacana di ruang rapat kini mulai terlihat nyata di lapangan. Salah satu contohnya adalah pembangunan pusat kesehatan di desa terpencil yang berhasil diselesaikan hanya dalam waktu dua bulan, padahal sebelumnya selalu tertunda karena berbagai alasan administrasi. Para petani yang selama ini kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan kini bisa merasakan manfaatnya. Keberhasilan ini menjadi pendorong semangat baru bagi tim Sukardi.

Namun, di balik keberhasilan itu, ada pihak yang merasa terganggu. Mereka yang dulunya menikmati kenyamanan posisi tanpa banyak bekerja mulai merasa terancam. Kritik-kritik muncul, baik dari dalam maupun luar organisasi, mencoba menggoyahkan komitmen Sukardi dan timnya. "Kebijakan terburu-buru ini tidak akan menghasilkan sesuatu yang berkelanjutan," kata salah seorang pejabat senior dalam sebuah wawancara. "Kita perlu langkah yang terukur, bukan lari tanpa arah."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline