Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

Menjangkau Sesama dengan Buku

Ketika Langit Mulai Berbicara

Diperbarui: 23 Oktober 2024   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(ilustrasi hasil olahan GemAIBot, dokpri)

Ketika Langit Mulai Berbicara

Hujan sudah mulai rajin turun, membasahi tanah yang lama kering. Suara gemericik air yang jatuh dari langit menyatu dengan aliran sungai di dekat rumah Osebeo, seorang pemuda yang tinggal di bantaran sungai itu. Sungai tersebut, yang selama bertahun-tahun tetap tenang dan bersahabat meski hujan deras, selalu menjadi sumber kehidupan bagi desa. Namun, langit tampaknya ingin bercerita lain kali ini dan Osebeo mendengar setiap katanya.

***

Osebeo sudah terbiasa hidup di dekat sungai. Dia mengenal tiap lekuk dan arusnya, menghafal bau lumpur yang selalu datang bersama hujan, dan tahu kapan air mengalir lebih deras dari biasanya. Sejak kecil, ayahnya sudah mengajarinya membaca tanda-tanda alam; pohon-pohon yang berdiri tegak di hulu menjadi penjaga alami yang setia, memastikan air tetap berada di jalurnya.

Namun, beberapa waktu belakangan, ada kegelisahan yang merayap di dadanya. Pada suatu hari, Osebeo memutuskan untuk berjalan lebih jauh, mengikuti aliran sungai ke arah pegunungan. Apa yang dilihatnya membuatnya terpana: semua hutan di pegunungan itu sudah gundul. Pohon-pohon yang dulu megah, kini tinggal kenangan, menyisakan tanah tandus dan akar-akar yang terbuka seperti luka. Gundulnya hutan di hulu itu tampak seperti pertanda yang buruk, seolah-olah alam sedang bersiap untuk menguji manusia.

(ilustrasi hasil olahan GemAIBot, dokpri)

Hujan mulai turun lebih deras, mengguyur desa tanpa henti selama tujuh hari tujuh malam. Setiap hari Osebeo menyusuri bantaran sungai, mengamati permukaan air yang semakin meninggi dan mulai membawa serpihan ranting serta lumpur. Dia tahu, tanpa penahan alami dari hutan, air dari pegunungan akan turun lebih cepat dan lebih ganas.

Pada hari ketujuh, ketika malam sudah larut dan hujan belum juga reda, Osebeo memutuskan untuk bertindak. Dia berkeliling ke rumah-rumah warga di bantaran sungai, mengetuk pintu satu per satu. "Kita harus segera mengungsi. Banjir bandang akan datang, sungai ini tidak akan sanggup menahan airnya," kata Osebeo dengan nada mendesak. Namun, sebagian warga hanya tertawa kecil atau menggelengkan kepala. "Sungai ini tidak pernah kebanjiran, Osebeo. Hujan deras seperti ini sudah biasa," jawab beberapa dari mereka.

Meski begitu, ada juga yang percaya dan mengikuti ajakannya. Osebeo dan warga yang bersedia mengungsi berkumpul di dataran tinggi, membawa barang-barang secukupnya. Mereka mengamati sungai yang mulai menderu seperti raksasa yang terbangun dari tidurnya. Dua hari kemudian, banjir bandang benar-benar datang. Air yang meluap menghantam desa, membawa pohon tumbang, batu-batu besar, dan lumpur yang merendam segalanya dalam sekejap. Sungai yang dulu jinak kini berubah menjadi arus liar yang menelan apa saja di hadapannya.

Warga yang mengungsi bersama Osebeo selamat. Mereka berdiri di puncak bukit, menyaksikan air bah yang menyapu desa mereka. Namun, beberapa keluarga yang tidak percaya kepada Osebeo tidak sempat menyelamatkan diri. Rumah mereka hanyut terbawa arus, meninggalkan kenangan yang tersapu habis.

Setelah banjir mereda dan matahari mulai terbit kembali, Osebeo berdiri di tepi sungai, menyaksikan air yang kini mengalir dengan tenang seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Tetapi desa itu menyimpan luka yang dalam, jejak kehancuran yang ditinggalkan oleh arus deras. Rumah-rumah yang rubuh, lahan pertanian yang terkubur lumpur, dan kenangan yang hilang terbawa arus menjadi pengingat akan bencana yang baru saja lewat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline