Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

Menjangkau Sesama dengan Buku

Kopi Selamat Datang di Meja Rakyat

Diperbarui: 20 Oktober 2024   20:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

Kopi Selamat Datang di Meja Rakyat

Dalam keheningan pagi yang terselubung aroma kopi, warung kecil di pojok kota itu tiba-tiba menjadi saksi bagi janji-janji yang pernah terucap. Di meja panjang yang dipenuhi cangkir-cangkir hitam, beberapa pemuda dan orang tua meyaksikan di layar TV presiden dan wakil presiden baru duduk dengan senyum tipis, seolah menyambut harapan yang masih mengepul bersama uap kopi. Pertanyaan demi pertanyaan mulai berhembus, serupa angin yang membawa bisik-bisik tentang makan siang gratis yang entah akan tiba atau sekadar angan. Di sinilah segalanya dimulai, dari secangkir kopi yang pahitnya tak mudah disulap menjadi manis, dan janji yang kembali mengudara, menggantung tanpa kepastian.

***

Warung kopi kecil yang amat ramai itu menjadi tempat berkumpulnya para pelanggan setia. Bukan tempat yang mewah, hanya deretan kursi kayu dan meja panjang yang dipenuhi cangkir-cangkir kopi hitam. Di pojok ruangan, sebuah televisi tua bergantung di dinding, layarnya menampilkan gambar pelantikan presiden dan wakil presiden baru yang disaksikan dengan saksama oleh pengunjung warung. Asap rokok dan aroma kopi bercampur dengan harapan dan kecemasan yang melayang di udara, menyelimuti warung itu dalam suasana yang tak menentu.

Pak Badu, salah satu pelanggan tetap, mengaduk kopinya dengan perlahan, memandang ke arah televisi. "Nah, itu dia. Akhirnya dilantik juga," gumamnya sambil menggeleng pelan. "Tapi, apa yang akan benar-benar berubah?"

Seorang pemuda di sampingnya, Arman, tertawa sinis. "Mereka bilang akan ada makan siang gratis, Pak. Tapi kapan terakhir kali kita benar-benar dapat makan siang tanpa bayar?" tanyanya dengan nada sarkastik. Suaranya terdengar getir, seolah kelelahan menanti janji-janji yang sudah tak terhitung jumlahnya.

"Ah, janji itu mudah," kata Pak Badu, menyela. "Yang sulit itu melakukannya." Ia meneguk kopinya, rasa pahitnya serasa menyatu dengan keputusasaan yang sudah lama terpendam. Di layar, presiden baru berpidato dengan lantang, menyampaikan visi masa depan yang gemilang, seperti sebuah mimpi indah yang tak pernah benar-benar terwujud.

Di tengah ruangan, Bu Siti, seorang pedagang sayur yang selalu mampir setelah pasar pagi, ikut menyuarakan keluhannya. "Kalau semua janji itu benar, mestinya hidup kita ini sudah berubah sejak lama. Tapi lihat saja, harga-harga naik terus, sementara kita tetap di sini, di warung ini, minum kopi yang makin pahit." Matanya menatap kosong ke arah layar, seolah mencari jawaban yang tidak akan pernah datang.

Arman yang kopinya hampir habis mengambil pena yang biasa dipakai bu Siti untuk menulis yang bon sayurnya. Ia menulis puisi yang tak pernah ia bacakan:

Di pagi yang baru, cangkir kopi kita sapa
Selamat datang, pemimpin baru di meja rakyat terbuka,
Harapan menyatu dalam uap yang menguar, tak lagi hampa.

Pertanyaan berhembus tentang makan siang gratis,
"Adakah hidangan untuk semua, bukan hanya janji manis?"
Presiden tersenyum, mengaduk kopi, menjawab tak tergesa.

"Kopi ini pahit, tapi bisa kita tambahkan gula,
Tak semua bisa datang seketika, kita bangun perlahan bersama,
Mari kita pastikan, tiap tegukan punya rasa yang adil dan nyata."

(tangerangkota.pikiran-rakyat.com)

Diskusi masih ramai terdengar di antara mereka. Hampir tidak ada yang mendengarkan karena masing-masing sibuk dengan harapannya yang terujar di antara mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline