Di Ujung Ombak
Dian menatap laut yang terhampar di depannya. Garis cakrawala seolah tak berbatas, menantang keberaniannya dengan gemuruh ombak yang bergulung-gulung ke bibir pantai. Tubuhnya kaku, matanya terpaku, sementara jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Udara asin yang dihirupnya serasa lebih berat, membebani setiap tarikan napas. Di dalam hatinya, ada ketakutan yang sudah bertahun-tahun ia pendam.
Setiap kali ia mendekati laut, kengerian yang tak terjelaskan mencengkeramnya. Kegelapan di bawah permukaan air, ketidakpastian tentang apa yang ada di dasar laut, dan kenangan tenggelam saat masih kecil membuat setiap percik ombak terasa seperti ancaman. Meski dia tahu ketakutannya tidak rasional, dia tak pernah berhasil menyingkirkannya.
Pagi itu, ia datang ke pantai atas dorongan sahabatnya, Lina. "Kamu harus mencoba menghadapi ini, Di," kata Lina penuh keyakinan. "Aku tahu ini menakutkan, tapi laut bukan musuhmu. Mungkin kamu hanya perlu mengenalinya dengan cara yang berbeda."
Dengan langkah ragu, Dian mendekat ke tepi air. Ombak menyapa kakinya dengan lembut, namun dalam kepalanya, pikiran tentang kedalaman laut dan kegelapan langsung menguasai. Ia segera mundur, seakan ada tangan tak kasatmata yang menariknya menjauh.
"Aku nggak bisa, Lin," kata Dian putus asa. "Rasanya... terlalu berat."
Lina, yang berdiri di sampingnya, tersenyum lembut. "Kamu nggak harus menyelam hari ini, Di. Tapi, cobalah lihat air ini sebagai sesuatu yang bisa kamu ajak bicara. Mulai dari langkah kecil. Duduk di sini, dengarkan ombaknya, dan rasakan bahwa laut ini tak pernah bermaksud mencelakakanmu."
Dian menghela napas panjang, lalu duduk di pasir. Suara ombak mendekat dan menjauh, seirama dengan tarikan napasnya. Sedikit demi sedikit, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda - bukan lagi ancaman, melainkan kekuatan yang besar tapi penuh ketenangan. Ia memejamkan mata, membiarkan angin pantai menyentuh wajahnya, membawa rasa damai yang perlahan menyusup.
Hari-hari berlalu, dan Dian mulai mendekat ke laut sedikit demi sedikit. Setiap pagi ia datang ke pantai, membiasakan diri dengan suara dan kehadiran ombak. Lina selalu menemani, kadang hanya dengan duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa. Dian mulai belajar bahwa ketakutannya tidak hilang begitu saja, tetapi dia bisa menavigasinya, seperti perahu kecil yang mencoba memahami arah angin.
Pada suatu sore yang cerah, Dian berdiri lagi di tepi laut, namun kali ini dengan tekad yang berbeda. Kakinya perlahan masuk ke air. Ombak yang dulu menakutinya kini terasa sejuk di kulitnya. Dia tahu di bawah permukaan itu ada kedalaman yang tak terduga, tapi sekarang, dia ingin melihat laut dengan mata baru sebagai sebagai sahabat, bukan musuh.