Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

Menjangkau Sesama dengan Buku

Pintu yang Tak Pernah Terbuka

Diperbarui: 16 September 2024   16:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(gambar diolah oleh penulis dengan AI)

Pintu yang Tak Pernah Terbuka

Dini memandangi layar laptopnya yang menyala terang, jari-jarinya bergerak cepat mengisi form lamaran kerja. Usianya baru 24 tahun, lulus kuliah setahun lalu, namun hingga kini belum juga mendapatkan pekerjaan tetap. Setiap pagi ia memeriksa email, berharap ada panggilan wawancara dari perusahaan yang telah ia lamar. Pekerjaan di bidang akuntansi memang tak mudah didapatkan, apalagi di kota kecil seperti ini.

Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah iklan yang menarik. "Dibutuhkan Staff Keuangan! Gaji di atas rata-rata! Fasilitas lengkap, bisa bekerja dari rumah." Dini segera mengklik link tersebut, merasakan sedikit rasa lega sejenak. Tawaran itu seolah menjadi jawaban atas semua kesulitannya selama ini.

Setelah mendaftar, tak butuh waktu lama, ia menerima balasan. "Selamat! Anda terpilih untuk mengikuti program pelatihan kami. Harap transfer biaya administrasi sebesar Rp500.000 untuk proses lebih lanjut."

Dini tertegun sejenak. Biaya administrasi? Tetapi emailnya tampak resmi, dengan logo perusahaan besar yang terkenal. Lagi pula, Rp500.000 bukanlah jumlah yang besar jika itu memang benar akan membuka pintu kesempatan karier yang ia impikan. Tanpa ragu, ia mentransfer uang tersebut.

Hari berganti minggu, dan yang datang bukanlah panggilan pelatihan, melainkan pesan dari seorang "HRD" yang meminta biaya tambahan untuk "seragam dan perangkat kerja." Perasaan Dini mulai tak enak, tapi ia sudah terlanjur berharap. "Mungkin ini prosedur yang biasa," batinnya menenangkan diri.

Namun, semakin hari, semakin jelas bahwa pintu yang dijanjikan tak pernah benar-benar ada. Setelah transfer kedua, pesan dari HRD berhenti begitu saja, dan nomor telepon yang diberikan tiba-tiba tak bisa dihubungi lagi. Saat itulah Dini tersadar. Ia telah tertipu.

Air matanya mengalir deras. Bukan karena uang yang hilang, tetapi karena harapannya hancur, dan ia merasa bodoh telah mempercayai janji manis tanpa dasar.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline