Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

Menjangkau Sesama dengan Buku

Di Bawah Bayang-Bayang Sirene

Diperbarui: 14 September 2024   22:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(dokpri)

Di Bawah Bayang-Bayang Sirene

Angin malam terasa tenang, berlawanan dengan hati para penghuninya yang selalu waspada. Di sebuah rumah sederhana, beberapa anak berkumpul di depan guru mereka, bercerita dengan semangat tentang pengalaman yang menghantui kehidupan keluarga mereka di negeri seberang.

"Bu, ayah saya pernah hampir dimakan buaya saat melarikan diri dari polisi di Malaysia," ucap seorang siswa, Bayu, dengan nada getir. Semua mata tertuju padanya. Bayu, seorang anak laki-laki berusia 16 tahun, bercerita tentang ayahnya yang bekerja di Malaysia sebagai buruh tanpa dokumen resmi.

"Dia lari ke hutan bakau, Bu. Di sana banyak buaya. Kami sekeluarga selalu khawatir setiap kali ada razia paspor. Ayah sering tidur di hutan agar tidak tertangkap polisi," lanjut Bayu, matanya memandang lurus ke depan seolah sedang mengingat kembali kisah mencekam itu.

Suara gemerisik daun di malam itu membuat beberapa siswa menoleh, seolah bayangan sirene polisi Malaysia masih membayangi mereka. Bagi mereka, kehidupan sebagai anak dari pekerja migran adalah campuran antara harapan, ketakutan, dan kenangan yang selalu siap menghantui kapan saja.

"Ayah saya juga sering lari ke hutan, Bu," sambung Nisa, gadis kecil berwajah cerah namun matanya menyimpan duka. "Satu malam, kami mendengar suara sirene. Kami semua langsung lari, masuk ke semak-semak, bersembunyi di sana sampai satu jam. Tapi ternyata... itu cuma mobil tetangga yang pulang larut malam," ucapnya dengan nada getir. Yang lain tertawa kecil mendengar cerita itu, namun di balik tawa ada rasa lega yang terasa seperti embusan napas panjang setelah ketegangan yang panjang.

**

Kisah-kisah semacam ini adalah bagian dari kehidupan anak-anak yang orang tuanya bekerja di Malaysia sebagai pekerja migran ilegal. Setiap hari adalah pertarungan antara harapan untuk hidup lebih baik dan ketakutan dikejar polisi. Bagi mereka, lampu biru berkedip dan suara sirene menjadi penanda bahaya, seolah malaikat maut tengah mendekat.

Guru mereka, seorang perempuan berusia awal tiga puluhan, mendengarkan dengan sabar. Ia tahu, anak-anak ini butuh ruang untuk bercerita, untuk melepaskan rasa takut dan trauma yang mungkin masih mereka simpan. Dia juga tahu, cerita-cerita ini bukan sekadar kisah petualangan yang menakutkan---ini adalah kenyataan hidup yang mereka jalani dengan risiko yang begitu besar.

Suatu hari, anak-anak itu kembali berkumpul, kali ini untuk menceritakan salah satu peristiwa paling menakutkan yang pernah mereka alami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline