Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

Menjangkau Sesama dengan Buku

Kopi yang Terus Pahit dan Derita PMI Non Prosedural

Diperbarui: 14 September 2024   19:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(expontt.com)

Kopi yang Terus Pahit dan Derita PMI Non Prosedural

Kemarin Jumat, 13 September 2024 saat pelajaran pendidikan agama katolik, saya bertanya tentang pengalaman paling menarik yang dialami para siswa ketika mereka di Malaysia. Cerita yang paling seru, dramatis dan menakutkan bagi mereka adalah ketika harus bermain kucing-kucingan dengan pihak kepolisian Malaysia jika sedang rasia paspor. Maklum banyak pekerja Migran Indonesia yang ke sana tanpa prosedur yang resmi, tanpa dokumen seperti paspor dan surat kerja sama antarlembaga.

"Jika mendengar sirene atau lampu mobil polisi, kami langsung berlari menuju hutan'' cerita siswa kelas X itu semangat. "Setelah kami lari dan menunggu satu jam, ternyata mobil tetangga, bukan mobil polisi," sambungnya dengan nada sedih.

"Ayah saya malah lari dan bersembunyi di hutan bakau, padahal di hutan itu banyak buaya,'' kisah seorang siswa dengan nada yang terasa getir.

"Kami tidur ayam-ayaman (maksudnya tidur tidak nyenyak) takut-takut kalau polisi datang," kenang seorang putri tentang situasi keluarga mereka.

Para siswa begitu antusias membagikan pengalaman mereka. Saya sengaja memancing mereka untuk berkisah agar bisa melegakan perasaan mereka (sekaligus mengungkapkan rasa rindu mereka) jika masih trauma dengan pengalaman "terlunta-lunta dan dikejar-kejar" polisi. Pengalaman ini bagi mereka sangat menakutkan para pekerja migran. Bahkan sampai ada yang menjadi korban dan kehilangan nyawa.

Saya mencoba menggambarkan suasana derita itu (meski tak pernah bisa menghapus trauma seumur hidup) dalam puisi berikut:

Jalan terjal mereka tapaki penuh harap,
Daun-daun mimpi berguguran di tanah seberang.
Namun nasib tak pernah manis, selalu tersangkut,
Di bibir cangkir pahit, yang tak pernah sempat mereka hirup.

Merantau jauh, membawa doa, juga asa dari kampung,
Namun pulang hanya nama dan jasad yang dibawa arus.
Tetes peluh tersisa jadi kenangan,
Tanah air hanya jadi saksi tangis yang tak pernah usai.

Di tiap sudut negeri orang, mereka memetik debu,
Namun di rumah, hanya tangis yang berkawan dengan waktu.
Kopi yang terus pahit ini,
Tak pernah manis meski gula berlimpah di tanah ibu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline