Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

Menjangkau Sesama dengan Buku

Sang Gembala

Diperbarui: 7 September 2024   05:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(hasil sreenshoot atas sebuah video yang beredar di WAG)

Sang Gembala 

(Terima Kasih Papa Fransiskus)

Langit di Jakarta tampak biru cerah petang itu. Ribuan orang dari berbagai penjuru Indonesia berkumpul di Gelora Perjuangan peninggalan Bung Karno, menantikan sosok yang telah lama dirindukan. Paus Fransiskus, sang gembala yang penuh kasih, akan datang mengunjungi mereka. Sejak kabar kedatangannya tersiar, umat dari segala usia, dari segala lapisan, telah mempersiapkan diri. Ada yang rela melakukan perjalanan berhari-hari, ada pula yang sudah sejak dini hari berdiri di barisan terdepan, meskipun hanya berharap sekilas melihat sang Paus dan mungkin mencium tangannya.

Anna, seorang perempuan muda berusia dua puluh lima tahun, berdiri di antara lautan manusia itu. Di dalam hatinya, terbit sebuah harapan yang telah lama ia bawa sejak berita kunjungan Paus pertama kali diumumkan. Ia memegang sebuah kalung salib tua di tangannya, peninggalan ibunya yang baru saja meninggal sebulan lalu. Air mata menggenang di sudut matanya, namun senyum penuh harapan tak pernah surut dari wajahnya. Baginya, kehadiran Paus Fransiskus adalah jawaban atas doa-doanya selama ini---doa yang menginginkan kedamaian setelah duka kehilangan orang yang paling ia cintai.

Di sebelahnya, seorang pria tua bernama Pak Suryadi berdiri dengan tongkat yang menopang tubuhnya yang rapuh. "Hanya dengan melihatnya saja, aku akan merasa diberkati," bisiknya pada seorang cucu yang setia menemaninya. Pak Suryadi telah lama merindukan saat-saat seperti ini. Usianya sudah menginjak delapan puluh tahun, dan bagi dia, kesempatan melihat Paus adalah kesempatan yang mungkin tak akan terulang lagi dalam hidupnya.

(dari FB Mas Wahyu Hidayat II)

Sementara itu, di bagian belakang lapangan, rombongan koor gereja dari berbagai daerah sudah bersiap-siap untuk menyanyikan lagu-lagu pujian. Suara mereka terdengar bagai litani yang mengalir dalam angin, membangkitkan rasa syukur dan kehadiran kasih Allah di tengah umat-Nya. Lagu-lagu pujian itu seakan menjadi pengantar bagi kedatangan Paus, yang kian dinanti-nanti dengan penuh kerinduan.

Pukul setengah lima petang, suara lonceng gereja bergema dari kejauhan, pertanda bahwa mobil yang membawa Paus Fransiskus telah mendekati lokasi. Kerumunan mulai gemuruh, bertepuk tangan, dan beberapa di antaranya mulai menyanyikan "viva il Papa" berulang-ulang, Ada yang meneriakan namanya "Papa Fransiskus! Papa Fransiskus!" dengan penuh cinta dan penghormatan. Seolah-olah menyebut nama itu sudah cukup untuk membawa ketenangan di hati mereka. Bagi banyak orang, Paus bukan hanya seorang pemimpin agama, tapi juga perwujudan kasih Allah yang nyata di dunia.

Ketika mobil berhenti, dan Paus Fransiskus keluar dengan senyum yang lembut, seketika suasana berubah menjadi haru. Anna, yang sudah lama menahan air matanya, tak mampu lagi menahan diri. Air mata jatuh mengalir deras di pipinya. Dia merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan---sebuah rasa damai yang datang begitu saja, seperti kehadiran ilahi yang membelai hatinya.

Di depan barisan, beberapa orang berlutut, tangan mereka terangkat tinggi-tinggi, berharap mendapatkan berkat dari Paus. Paus Fransiskus melangkah perlahan, menyapa umat dengan tangan terbuka. Tatapan matanya penuh kelembutan, penuh kasih yang murni. Dia mendekati mereka yang berlutut, mengangkat mereka dengan lembut, memberikan pelukan, dan memberkati mereka dengan penuh perhatian. Umat tak mampu membendung air mata mereka. Bagi mereka, setiap sentuhan dari Paus adalah bukti nyata kasih Allah yang tak terhingga.

Pak Suryadi, yang sudah menanti-nanti sejak pagi, merasa jantungnya berdegup kencang ketika Paus Fransiskus mendekat. "Apakah beliau akan melihatku?" pikirnya dengan perasaan tak menentu. Dan ketika akhirnya Paus mendekat ke arahnya, sesuatu yang luar biasa terjadi. Paus melihat ke arahnya, menghampirinya, dan dengan senyuman yang meneduhkan, ia menggenggam tangan Pak Suryadi. "Tuhan memberkatimu," bisiknya. Pak Suryadi tak mampu berkata apa-apa, hanya air mata yang mengalir di pipinya, perasaan haru yang memenuhi hatinya. "Terima kasih, Bapa Suci," lirihnya, seakan itu saja sudah cukup untuk menjadikan hidupnya sempurna.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline