Lelaki yang Mencari Takdir
Arya. Begitulah namanya biasa dipanggil. Dia terkenal di desanya sebagai seorang bapak yang bertabiat kurang baik. Sejak kecil, ia selalu bermimpi menjadi seorang pemimpin yang disegani. Ambisinya tak pernah pudar, meski hidupnya tak pernah berjalan semulus impiannya. Arya adalah seorang lelaki dengan banyak cerita, tapi sayangnya, cerita-cerita itu lebih banyak diwarnai oleh kenakalan dan kesalahan.
Banyak orang di kota itu mengenal Arya bukan sebagai calon pemimpin, tapi sebagai sosok yang selalu membuat masalah. Di masa mudanya, ia pernah berhutang pada banyak orang, merusak persahabatan, dan terlibat dalam beberapa skandal kecil yang merusak reputasinya. Namun, di balik semua itu, Arya selalu merasa bahwa ia layak mendapatkan kesempatan kedua---kesempatan untuk memperbaiki diri dan meraih mimpi-mimpinya.
Ketika usianya memasuki akhir dua puluhan, Arya memutuskan untuk mencoba peruntungannya di dunia politik. Ia yakin, jika ia bisa menjadi pemimpin, semua kesalahan masa lalunya akan terlupakan. Ia mulai mendekati berbagai partai politik yang ada di kota itu. Setiap kali bertemu dengan pemimpin partai, Arya akan berbicara dengan penuh semangat, menjual dirinya dengan kata-kata manis dan janji-janji besar.
"Percayalah, saya bisa membawa perubahan. Saya adalah orang yang Anda butuhkan untuk memenangkan hati rakyat," katanya setiap kali.
Namun, rekam jejak Arya tak pernah bisa disembunyikan. Setiap partai yang ditemuinya tahu siapa Arya sebenarnya. Mereka mendengarkan kata-katanya, menilai ambisinya, dan meski beberapa pemimpin partai terlihat tertarik, tak ada yang benar-benar ingin memberinya kesempatan.
"Beri saya waktu, dan saya akan buktikan bahwa saya bisa," Arya sering memohon. Beberapa kali, ia bahkan mendapatkan janji-janji samar dari mereka---sebuah kursi di dewan kota, sebuah posisi di partai---tetapi janji-janji itu tak pernah terwujud.
Arya terus berusaha. Dia mengirim surat, datang ke pertemuan-pertemuan politik, dan selalu tampil dengan senyum penuh keyakinan. Tapi di balik senyumnya, ada kepahitan yang tak bisa dihindari. Ia tahu bahwa ia sedang berjuang melawan masa lalunya sendiri, dan masa lalu itu seperti bayangan yang selalu mengikuti, tak peduli seberapa cepat ia mencoba lari.
Seperti seorang pria yang terus mengejar cinta, Arya mulai merasakan bahwa usahanya hanyalah sia-sia. Ia seperti lelaki yang datang membawa bunga, namun selalu pulang dengan tangan hampa. Setiap gadis yang ditemuinya---dalam hal ini, setiap partai yang didekatinya---terlihat terpesona pada awalnya, tetapi tak ada yang benar-benar mau menerimanya. Tabiat buruknya selalu menjadi penghalang.