Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

Menjangkau Sesama dengan Buku

Kopi dan Kaderisasi

Diperbarui: 28 Agustus 2024   20:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(jakartaglobe.id)

Kopi dan Kaderisasi

Dengan berlakunya Keputusan MK 20 Agustus lalu tentang ambang batas pencalonan (treshold) dan batas maksimal dan batas minimal usia calon memungkinkan PDIP dan partai lain yang tidak bergabung dalam KIM Plus bisa menentukan calonnya sendiri. Menanggapi keputusan itu, PDIP segera menetapkan sejumlah calon kepala daerah di seluruh Indoenesia. Dan salah satu yang paling menarik perhatian adalah pencalonan kepala daerah DKI Jakarta.

Sempat banyak beredar kabar bahwa Anies Baswedan - yang tiba-tiba ditinggalkan oleh PKS dan Nasdem -- akan dicalonkan oleh PDIP. Namun hingga pendaftaran yang dilakukan di kantor KPUD, nama Anies Baswedan tidak ada. Yang ada justru kader partai sendiri yakni Pramono Anung -- Sekretaris Kabinet -- dan Rano Karno. Keduanya kader PDIP -- yang bersama sejumlah kader PDIP lainnya akan meramaikan dinamika politik lima tahun ke depan.

Keberanian PDIP untuk memilih kadernya sendiri saya tuangkan dalam puisi kopi dan kaderisari. Kopi melambangkan perjuangan yang berat (pahit), berdarah-darah, tidak mudah (tidak manis) karena seorang calon hanya bisa terpilih jika dipilih oleh rakyat. Beratnya meraih kepercayaan rakyat, saya analogikan seperti minum kopi tanpa gula, meski terasa pahit tapi nikmat, meski kader partai kalah, mereka tetap bermartabat karena konsisten untuk mengutamakan kader.

Di meja kopi partai kami berkumpul,
Tempat dididik kami dalam asam garam,
Belajar melayani, tak kenal lelah,
Demi bonum commune, kesejahteraan umum,
Kami melebur, jadi satu dalam misi,
Di sini, bukan cuma sekadar nama.

Kaderisasi, rumah kami bertumbuh,
Dalam perjuangan, kami belajar berdarah,
Potensi kalah tak pernah jadi alasan,
Karena kami tak datang dari luar pagar,
Kami yang terpilih, meski angin badai,
Karena kesetiaan tak pernah hilang arah.

Pramono dan Rano, lambang dedikasi,
Dalam sejarah partai, jejak mereka tertulis,
Tak mudah untuk memilih, tapi kami teguh,
Kader lebih berharga dari gemerlap luar,
Dalam partai, kami terus melangkah,
Kopi dan kaderisasi, kunci dari semua.

(liputan6.com)

Puisi "Kopi dan Kaderisasi" di atas secara efektif berusaha menangkap esensi dari proses kaderisasi dalam partai politik, khususnya dalam konteks pencalonan pemimpin daerah seperti bupati dan gubernur. Positifnya, puisi ini menggambarkan dengan baik pentingnya kesetiaan dan komitmen para kader yang telah berdedikasi untuk partai. Penggambaran perjuangan kader yang "berdarah-darah" menunjukkan bahwa mereka tidak hanya sekadar simbol atau pelengkap, tetapi sebagai aset yang telah melalui proses panjang untuk memahami visi dan misi partai. Ini penting karena mencerminkan bagaimana kaderisasi dapat membentuk pemimpin yang memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai partai dan kesejahteraan umum.

Namun, dari sisi negatif, puisi ini juga menyoroti potensi kekurangan dalam sistem kaderisasi yang terlalu eksklusif. Dengan terlalu mengutamakan kader internal, partai politik mungkin kehilangan kesempatan untuk mengusung calon yang lebih kompeten atau populer dari luar partai, yang bisa memenangkan pemilihan dan membawa dampak positif lebih besar. Hal ini dapat memicu kritik bahwa partai politik terkadang mengutamakan loyalitas daripada kompetensi, yang dalam jangka panjang bisa merugikan kepentingan publik dan mengurangi daya saing partai itu sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline