Kenangan perayaan 17 Agustus akan segera berlalu. Euphorianya akan segera berakhir. Kita segera kembali hidup normal, sambil membawa nilai-nilai kepahlawanan dalam hidup. Sebuah pertanyaan reflektif yang patut diajukan adalah "Apa yang mesti dilakukan oleh negara setelah hajatan syukuran yang menelan biaya puluhan miliar? Apa dampak konkretnya bagi rakyat? Apa pengaruhnya bagi para pejabat? Dan masih banyak litani tanya yang mestinya di-breakdown oleh para pemangku jabatan sehubungan dengan mahalnya biaya perhelatan 17 Agustus.
Sebelum mengakhiri hari ini, saya ingin menuliskan sebuah refleksi atas kegundahan saya atas upacara kemerdekaan melalui puisi berikut ini. Ini hanyalah satu satu bentuk partisipasi tidak aktif dalam hidup bernegara, karena negara menjamin kebebasan berpendapat.
Kopi di Malam 17 Agustus
Dua istana bercahaya, gemerlap malam purnama,
Di Jakarta dan Kalimantan, pesta megah digelar,
Biaya melangit, riuh rendah sorak sorai,
Dulu darah dan keringat jadi tumbal, kini seremoni yang diagung-agungkan.
Kopi di tangan, pahitnya menyelinap di antara tawa,
Apakah kemerdekaan harus semeriah ini?
Di luar sana, rakyat berjuang dengan lapar dan lelah,
Namun di sini, sorotan kamera dan tawa tak henti mengisi layar.
Esensi perayaan, terbuai dalam gemerlap,
Apa yang ingin disampaikan di tengah kesulitan?
Di saat perut rakyat masih kerap kosong,
Adakah makna di balik pesta yang menggema?
Mari kita coba mendalami puisi di atas dari beberapa perspektif, yang menurut saya layak kita angkat untuk memaknai gegap gempita pesta kemerdekaan yang dirayakan oleh Presiden Joko Widodo secara besar-besaran di IKN. Tidak ada yang salah demi sebuah kebanggaan bagi bangsa. Tapi apakah kebanggaan itu hanya sebatas perasaan senang secara lahiriah atau sesuatu yang lebih spiritual yang mempersatukan kita sebagai satu bangsa? Mari kita coba menyelami puisi di atas melalui beberapa aspek berikut ini.
Pertama, dari sudut pandang politik, melalui puisi ini saya ingin menyoroti perbedaan antara semangat perjuangan kemerdekaan dahulu dan cara perayaannya di masa kini. Dulu, kemerdekaan diraih dengan pengorbanan besar---darah dan keringat para pejuang. Namun, kini perayaan kemerdekaan lebih sering diisi dengan seremoni megah yang melibatkan anggaran besar dari negara. Di sini, kritik tersirat tentang bagaimana alokasi sumber daya negara, yang seharusnya lebih diprioritaskan untuk kepentingan rakyat banyak, malah digunakan untuk acara-acara simbolis yang megah. Menurut ahli politik seperti Miriam Budiardjo, kekuasaan seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan sekadar pencitraan yang jauh dari realitas keseharian masyarakat.
Kedua, dari perspektif sosiologi, melalui puisi ini saya ingin mengangkat isu ketimpangan sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Perayaan kemerdekaan yang mewah di dua istana negara mencerminkan ketidakseimbangan antara elit politik dan masyarakat biasa. Sementara sebagian kecil menikmati kemewahan dan kemeriahan, banyak rakyat masih bergelut dengan kesulitan ekonomi. Ahli sosiologi seperti Pierre Bourdieu menekankan bahwa kesenjangan sosial seringkali diperkuat oleh praktik-praktik simbolis yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan, termasuk dalam bentuk seremoni negara.
Ketiga, dari sisi psikologi, puisi ini hendak menggambarkan rasa keterasingan dan frustrasi yang mungkin dirasakan oleh rakyat jelata. Melihat kemeriahan yang dirayakan oleh mereka yang berada di atas, sementara mereka sendiri bergulat dengan kesulitan, bisa menimbulkan perasaan tidak berdaya dan ketidakpuasan. Ahli psikologi sosial seperti Martin Seligman mengungkapkan bahwa perasaan ketidakberdayaan ini bisa berkembang menjadi apatisme, di mana rakyat merasa bahwa upaya mereka untuk memperbaiki kehidupan tidak akan berpengaruh. Ini menciptakan jurang emosional antara rakyat dan pemimpin mereka.