Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

Menjangkau Sesama dengan Buku

Kopi dan Geliat HUT Kemerdekaan

Diperbarui: 7 Agustus 2024   07:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(homecare24.id)

Kopi dan Geliat Perayaan HUT Kemerdekaan

 

Pagi ini sembari menyeduh kopi robusta asal Bajawa dengan aroma jahe yang menggoda, terbesit sebuah gagasan untuk menulis puisi di bawah ini. Dalam setiap tegukan kopi pahit terasa ada dengusan kekesalan dari pada pejuang bangsa atas kondisi bangsa yang sedang tidak baik-baik saja. Situasi kehidupan ekonomi yang mencekik, banyak terjadi PHK di sejumlah perusahaan. Akibatnya banyak bapak atau ibu rumah tangga yang kehilangan pekerjaan. 

Situasi politik dan hukum yang semakin tidak jelas arahnya antara menegakkan kebenaran umum atau kesejahteraan personal sehingga hukum bisa diatur-atur sesuka hati. Belum lagi sistem pendidikan kita yang terus saja tidak pasti, karena saban lima tahun sepertinya kita mencari pola dan bentuk kurikulum yang baru. Sementara itu kesejahteraan guru (non ASN) amat memprihatinkan pada mereka sudah berjuang mengabdikan diri bagi kecerdasan dan pencerdasan bangsa.

Sebelum berangkat ke sekolah mengisi jam pelajaran ketiga dan keempat, saya berusaha tuangkan kegundahan itu dalam tiga bait puisi berikut:

 

Seperti kopi pahit yang kuhirup pagi ini,
Nikmat tak terucap meski rasa getir menyelinap,
Begitulah semangat juang para pahlawan negeri,
Meraih merdeka dengan tekad yang tak henti berdegup.

Darah dan keringat membasahi tanah ibu pertiwi,
Air mata belum sepenuhnya kering dari kisah mereka,
Namun kini, banyak yang lupa pada arti perjuangan ini,
Pejabat berlomba, memperkaya diri, anak, dan keluarga.

Di tengah gegap gempita perayaan hari kemerdekaan,
Mari kita renungkan makna sebenarnya yang mendalam,
Agar kopi pahit ini mengingatkan kita kembali,
Bahwa kemerdekaan sejati ada dalam hati yang berani.

Melalui puisi tentang "Kopi dan Geliat Perayaan HUT Kemerdekaan" di atas, saya berusaha menggambarkan kontras antara semangat juang para pahlawan bangsa di masa lalu dengan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini. Dengan analogi kopi saya ingin menggambarkan bahwa meski kopi itu pahit, hidup yang getir pun (di kalangan masyarakat bawah), bisa dinikmati dengan penuh kesadaran akan perjuangan. Analogi ini untuk menggambarkan perjuangan para pahlawan yang penuh pengorbanan untuk meraih kemerdekaan. Mereka menempuh jalan yang sulit, dengan pengorbanan yang tak ternilai demi mewujudkan kebebasan dan kedaulatan bangsa.

Sedangkan pada bait kedua, saya berusaha menyoroti bagaimana hasil perjuangan belum sepenuhnya dihargai. Meskipun kemerdekaan telah diraih, masih banyak yang melupakan nilai-nilai yang diperjuangkan. Mentalitas koruptif yang dibalut dengan koncoisme, keluargaisme, dan nepotisme tampak jelas di kalangan pejabat tertentu, yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan keluarga. Ini menjadi ironi di tengah perayaan kemerdekaan yang seharusnya memperingati perjuangan dan pengorbanan para pendahulu.

Sementara itu, tantangan lain yang dihadapi Indonesia adalah minimnya sarana dan prasarana pendidikan. Kondisi ini bertolak belakang dengan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa yang diamanatkan oleh para pendiri negara. Pendidikan seharusnya menjadi prioritas utama untuk membangun generasi yang mampu menghadapi tantangan global. Namun, sering kali, perhatian terhadap pendidikan dan kesejahteraan guru terabaikan. 

Guru sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan bangsa memerlukan dukungan penuh, baik dari segi sarana maupun kesejahteraan. Tetapi karena guru terkenal dengan sebutan pahlawan tanpa tanda jasa, seringkali tanpa penghargaan pun dianggap layak. 

Semestinya guru dihargai lebih mahal daripada para direksi dan komisaris perusahaan negara, gubernur, bupati, walikota bahkan anggota dewan perkawilan rakyat (DPR). Mereka kan hanya mewakili kenapa harus dibayar lebih tinggi daripada pemberi mandat? Ini butuh sebuah revolusi cara berpikir baru. Mungkin yang utama sekarang adalah memindahkan ibukota negara, bukan mindset rakyat untuk menyambut Indonesia emas tahun 2045. 

Pada akhirnya, melalui puisi ini saya mengajak kita untuk merenungkan arti sejati dari kemerdekaan. Dalam perayaan hari kemerdekaan, kita diingatkan bahwa perjuangan belum selesai. Kita harus terus berupaya menghapus mentalitas koruptif dan memprioritaskan pendidikan. Dengan demikian, kita dapat menjaga semangat juang para pahlawan dan memastikan bahwa kemerdekaan yang kita nikmati bukan hanya sebatas simbol, tetapi juga tercermin dalam tindakan nyata untuk kemajuan bangsa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline