POLITIK DINASTI SEPERTI CENDAWAN DI MUSIM HUJAN
Pemilihan kepala daerah (pilkada) akan dilakukan secara serentak pada November 2024. Seperti kita ketahui sejak hampir 15 tahun terakhir, politik dinasti dalam pilkada begitu nyata dan subur. Ada dinasti vertikal (ayah atau ibu ke anak, suami ke istri atau sebaliknya, dari kakak ke adiknya, ponakannya, atau dinasti horizontal terjadi ketika beberapa kepala daerah merupakan kerabat atau saudara ipar. Poliltik seperti milik segelintir keluarga, dan hanya berputar-putar di sekitar mereka. Orang lain (calon dinasti baru) bahkan susah untuk masuk. Contoh-contoh terpapar di hadapan kita. Tanpa menyebutnya pun kita sudah tahu siapa saja yang secara fulgar memainkan politik dinasti ini.
Mengapa Politik Dinasti Begitu Kuat?
Yoes C. Kenawas dalam papernya yang berjudul "The Rise of Political Dynasties in a Democratic Society" (Arryman Fellow Research, May 16, 2015) membuat sebuah abstraksi yang sangat menarik tentang politik dinasti. "The emergence of political dynasties in democratic societies, particularly in consolidating democracies, has raised concerns among democratic activists, policymakers, and academics. By analyzing the emergence of political dynasties at the subnational level, this paper explores the underlying causes of the formation of political dynasties and the political mechanisms that enable dynastic politicians to preserve and to extend their power in consolidating democracies. Additionally, this paper examines dynastic variations within a democracy, i.e., why some families are able to build political dynasty, while others fail. This paper argues that, the determinants of success in building a political dynasty are the strength of the informal family network and the size of accumulated material wealth, which help dynastic politicians to tilt the playing field that can be created by using status of one of the family members as an incumbent."
Saya mencoba menerjemahkannya secara agak bebas sebagai berikut: "Munculnya dinasti politik dalam masyarakat demokratis, khususnya dalam upaya konsolidasi demokrasi, telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis demokrasi, pembuat kebijakan, dan akademisi. Dengan menganalisis munculnya dinasti politik di tingkat subnasional, Yoes C. Kenawas (dalam) makalah ini mengeksplorasi penyebab mendasar pembentukan dinasti politik dan mekanisme politik yang memungkinkan politisi dinasti untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan mereka dalam upaya konsolidasi demokrasi. Selain itu, Kenawas (dalam makalah ini) mengkaji variasi dinasti dalam demokrasi, yaitu mengapa beberapa keluarga mampu membangun dinasti politik, sementara yang lain gagal. Ia (dalam makalah ini) berpendapat bahwa, penentu keberhasilan dalam membangun dinasti politik adalah kekuatan jaringan keluarga informal dan besarnya kekayaan materi yang terkumpul, yang membantu politisi dinasti untuk mengubah situasi yang dapat diciptakan dengan menggunakan status salah satu anggota keluarga sebagai petahana."
Fenomena dinasti politik di Indonesia merupakan salah satu tantangan besar dalam proses konsolidasi demokrasi di negara ini. Meskipun demokrasi di Indonesia telah memberikan ruang lebih besar bagi partisipasi politik, dinasti politik masih menjadi hambatan bagi terciptanya sistem politik yang lebih adil dan egaliter.
Penjelasan berikut tidak terutama menjelaskan apa yang ditulis oleh Yoes C. Kenawas di atas, melainkan lebih upaya untuk menangkap yang "tersembur" dari suburnya praktik politik dinasti selama ini.
Penyebab Munculnya Dinasti Politik di Indonesia
Dinasti politik di Indonesia muncul karena berbagai faktor yang saling berkaitan, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun politik. Ada beberapa penyebab utama munculnya dinasti politik di Indonesia:
Pertama, Adanya kultur patronase. Hubungan patron-klien sangat kuat di banyak daerah di Indonesia. Pemimpin lokal yang berkuasa sering kali memberikan keuntungan materi atau akses kepada pendukung setia mereka, menciptakan loyalitas yang sulit dipatahkan. Dinasti politik memanfaatkan jaringan ini untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Kedua, Keterbatasan reformasi politik atau reformasi setengah hati. Meskipun Indonesia telah melakukan reformasi demokrasi (yang sudah hampir 30 tahun), banyak struktur dan praktik dari masa lalu yang tetap bertahan. Sistem politik yang tidak sepenuhnya transparan dan akuntabel memungkinkan praktik dinasti politik untuk terus berkembang.