Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

Menjangkau Sesama dengan Buku

Dika yang Unik

Diperbarui: 24 Juli 2024   20:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber: jabar.tribunnews.com)

DIKA YANG UNIK

Di suatu pagi yang cerah, siswa kelas X SMA Sinar Pelita tampak bersemangat. Hari itu, Ibu Maya, guru Pendidikan Agama Katolik yang dikenal penuh kreativitas, memiliki rencana berbeda untuk mengawali pelajaran. Ia berdiri di depan kelas dengan senyum lebar, menggenggam sebuah kotak kecil penuh warna. "Pagi ini kita akan melakukan sesuatu yang istimewa," katanya. "Saya ingin kalian menuliskan satu hal yang membuat kalian merasa unik."

Para siswa mulai berbisik, penasaran dengan apa yang harus mereka tuliskan. Beberapa mulai mengguratkan kata-kata di kertas kecil yang dibagikan Ibu Maya, sementara yang lain masih berpikir keras. Kertas-kertas itu akan ditempatkan di dalam kotak, kemudian dibagikan kembali secara acak untuk dibacakan di depan kelas. Setiap anak akan mendapat kesempatan untuk berbagi tentang keunikan dirinya, yang mungkin belum pernah diketahui teman-teman sekelasnya.

Satu per satu siswa maju ke depan kelas. Ada yang bercerita tentang bakat menyanyi, kemampuan melukis, hingga koleksi benda-benda unik yang mereka miliki. Tawa dan tepuk tangan sesekali memenuhi ruangan ketika mereka mengapresiasi keunikan teman lainnya. Kelas terasa hangat, penuh dengan semangat kebersamaan dan keakraban, meski mereka baru bersama selama dua minggu di sekolah itu.

Ketika tiba giliran Dika, suasana menjadi sedikit berbeda. Ia berjalan perlahan ke depan kelas, wajahnya tampak gugup. Dika, yang dikenal pendiam dan jarang bicara di kelas, menggenggam kertasnya erat-erat. "Aku unik karena kedua orang tuaku hidup pisah," katanya dengan suara bergetar. "Aku bingung mau ikut siapa?"

Kelas mendadak hening. Semua mata tertuju padanya, menyadari betapa berat beban yang sedang ia pikul. Dika menunduk, air mata mulai mengalir di pipinya. Hati setiap orang di ruangan itu terasa tersentuh. Mereka menyadari bahwa keunikan Dika bukanlah sesuatu yang menyenangkan, tetapi kenyataan pahit yang harus ia hadapi setiap hari. Karena sebagai anak tentu dia akan selalu sibuk untuk berpikir bagaimana harus membagi waktu untuk dekat dengan ibu atau ayahnya yang sudah berpisah sejak dia kelas empat sekolah dasar. Meski ayah dan ibu tinggal sekota, tapi jika harus ke sana ke mari rasanya berat bagi seorang anak. Belum lagi sang ayah sudah ada kehidupan baru, memiliki keluarga baru.

Tanpa banyak bicara, Rafi, sahabat Dika, berdiri dari tempat duduknya dan berjalan mendekati Dika. Ia memeluk Dika erat, menepuk punggungnya dengan lembut. "Kamu tidak sendiri, Bro. Semangat ya," ujarnya penuh empati. Kata-kata sederhana itu, entah bagaimana, mampu memberikan kekuatan baru bagi Dika.

(sumber: i.pinimg.com)

Melihat tindakan Rafi, teman-teman lainnya mulai bangun dari kursi mereka. Satu per satu menghampiri Dika, membentuk lingkaran pelukan yang hangat dan mengharukan. Tidak ada yang mengucapkan kata-kata, tetapi kehadiran mereka sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa Dika tidak perlu menghadapi masalahnya seorang diri.

Momen itu menyentuh hati Ibu Maya. Ia merasa bangga melihat siswanya saling mendukung dan peduli satu sama lain. "Terima kasih sudah saling mendukung," ucapnya lembut. "Kalian semua adalah pribadi yang unik dan istimewa. Tidak hanya karena kelebihan atau bakat kalian, tetapi juga karena keberanian kalian untuk menghadapi tantangan."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline