#PutibaPengabdianTengsoe
Empat puluh tahun pena menari,
Di atas lembaran waktu, kisah terurai.
Tengsoe, engkau merangkai mimpi,
Dalam bait-bait indah, dunia sastra berseri.
Pengabdianmu dalam kata-kata yang menyejuk,
Mengalir bagai sungai, tiada henti mengalun.
Setiap puisi, cerita, dan renungan mendesak,
Menyelami hati pembaca, menanamkan keagungan.
Empat puluh tahun, perjalanan penuh makna,
Tengsoe, pelita dalam kegelapan sastra.
Dengan cinta dan dedikasi yang setia,
Kau ukir sejarah, di kanvas sastra yang abadi.
Puisi ini saya buat untuk mensyukuri, mengenang dan berterima kasih atas perjalanan panjang seorang sastrawan, Tengsoe Tjahjono, dalam dunia sastra Indonesia selama empat dekade. "Empat puluh tahun pena menari" menggambarkan konsistensi dan dedikasi Tengsoe dalam menulis, seolah-olah pena menjadi alat tari yang indah di tangannya. "Di atas lembaran waktu, kisah terurai" menunjukkan bagaimana perjalanan waktu diisi dengan karya-karya yang membentuk narasi hidup dan pengalaman yang luas.
Saya secara pribadi baru bertemu pertama kali tahun 2017 lalu ketika kopdarnas penulis yang tergabung dalam Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG). Saat itu para penyair kawakan seperti Eka Budianta dan Joko Pinurbo juga hadir. Selain itu saya makin intens berkomunikasi ketika tertarik dengan genre sastra baru yang diperkenalkan oleh Tengsoe, "Cerita Pendek Tiga Paragraf atau Pentigraf". Sejak saat itu saya begitu gandrung menulis pentigraf dengan tokoh tunggal Bung Karno hingga menerbitkan dua buku pentigraf khusus tentang Bung Karno.
Ini hanya salah satu dampak positif dari seorang Tengsoe. Ia juga menghadirkan kegembiraan sastra dengan sebutan yang asyik didengar, "Sastra Tiga." Ia bahkan menulis semacam "kitab suci"nya sastra tiga berjudul "BERUMAH DALAM SASTRA TIGA" Pertanyaan dan Jawaban tentang: Cerpen Tiga Paragraf (Pentigraf); Cerita Tiga Kalimat (Tatika); Puisi Tiga Bait (Putiba) dan Puisi Tiga Baris (Putibar). Sebelumnya ia menulis semacam buku tafsir Pentigraf berjudul "MENEROKA DAPUR PENTIGRAF." Tentu saja, selain kedua buku ini Tengsoe telah menulis banyak antologi puisi pribadi bahkan sejak masa masih sekolah.
"Tengsoe, engkau merangkai mimpi" menegaskan peran Tengsoe sebagai seorang pencipta, yang melalui karyanya mampu menghidupkan mimpi-mimpi, baik miliknya maupun pembacanya. "Dalam bait-bait indah, dunia sastra berseri" menekankan dampak positif dan keindahan yang dibawa oleh karya-karyanya, membuat dunia sastra menjadi lebih bercahaya dan berwarna. Secara keseluruhan, bait kedua merupakan penghormatan untuk mengakui kontribusi besar Tengsoe Tjahjono dalam memperkaya dunia sastra dengan dedikasi dan karya-karyanya yang penuh makna.
Bait kedua menggarisbawahi kualitas dan dampak dari karya-karya Tengsoe Tjahjono dalam dunia sastra. Dedikasi Tengsoe dalam menulis dengan penuh ketulusan dan kebijaksanaan, di mana kata-katanya membawa ketenangan dan kenyamanan bagi para pembaca. Karya-karya Tengsoe terus mengalir secara konsisten dan tanpa henti, seperti aliran sungai yang tidak pernah berhenti. Ini menunjukkan produktivitas dan kesinambungan dalam pengabdian sastra. Selain itu, setiap karya yang dihasilkan oleh Tengsoe tidak hanya indah secara estetis, tetapi juga memiliki daya dorong yang kuat, memaksa pembaca untuk merenung dan merasakan emosi yang dalam.