Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

Menjangkau Sesama dengan Buku

Ubek Kekancon dan Taruna Skagata

Diperbarui: 23 Juni 2024   13:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Si Bungsu jadi Paman 1: Guyan Jaran (dokumentasi pribadi)

UBEK KEKANCON DAN TARUNA SKAGATA

Ada dua moment yang ingin saya bagikan sebagai penutup malam yang melibat kedua putra saya, yang berlangsung pada hari ini dengan jam yang hampir sama di tempat yang berbeda. Saya dan istri berbagi tugas. Istri menemani yang sulung (kelas X SMK) dan saya menemani yang bungsu (kelas 4 SD). Yang sulung di Kota Yogyakarta Utara, yang bungsu di wilayah Sleman Timur. Keduanya menjalankan perannya sendiri. Yang sulung yang terlibat dalam pentas seni oleh tim ekstra pramuka (meski dia juga mengikuti Tonti dan Bela diri) dilantik sebagai Taruna SKAGATA (SMK Tiga Yogyakarta). Sedangkan yang bungsu menjadi aktor drama singkat sebagai Paman 1: Guyang Jaran.

Sebelum liburan tiba dan pembagian raport, keluarga besar SD Kanisius Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta mengadakan UBEK KEKANCON (Usaha Berkreasi Keluarga Kanisius Condongcatur). Dalam Ubek ini para siswa mulai dari kelas 1 hingga kelas 6 (yang sudah menjadi alumni karena kemarin tanggal 19 Juni sudah resmi mengadakan perpisahan dan pelepasan) melakukan "Gelar Budaya", "Gelar Kreasi" dan "Gelar Karya" oleh dan dari anak-anak. Para orang tua (diwakili komunite kelas masing-masing) menggelar jajanan pasar untuk anak-anak. Tentu minuman dingin yang paling disenangi anak-anak.

Ubek diawali dengan misa syukur akhir tahun yang dipimpin oleh Pastor Agustinus Weruin, CMF dengan diiringi paduan suara oleh anak-anak yang tergabung dalam ekstra kurikuler "Padus/Paduan Suara." Dalam homilinya, Pastor Gusti mengajak anak-anak untuk bersyukur atas segala penyertaan Tuhan selama satu tahun menjalani masa pembelajaran. Segenap komponen sekolah -- yayasan, guru dan karyawan, peserta didik dan orang tua -- diajak untuk melihat kembali moment-moment penuh syukur yang dilewati bersama. Hanya syukur yang membuat kita semakin teguh berjalan menuju cita-cita yang sedang diperjuangkan, karena selalu yakin akan peran dan berkat Tuhan yang tidak berkesudahan.

Sementara itu, Kepala Sekolah SD Kanisius Paulina Rukun Triandari menegaskan bahwa Ubek selain untuk memberi ruang ekspresi kepada anak-anak juga menjadi bagian dari upaya agar segenap orang tua untuk ikut terlibat dalam acara yang melihat langsung gelar kreasi, gelar budaya dan gelar karya yang dilakukan oleh anak-anak. 

"Semoga acara semacam ini menjadi suatu nilai lebih dari sekolah kita bagi anak-anak. Diharapkan semakin banyak orang tua yang mau menitipkan anak-anak mereka untuk berdinamika bersama kita," kata Bu Ndari saat ngobrol-ngobrol seusai misa.

(foto: dari Bu Dewi, wali kelas IV)

Bawang Merah, Bawang Putih dan Tiga Pesan

Setiap kelas menunjukkan kebolehan mereka baik secara kolosal (bersama-sama) maupun melalui perwakilan kelas (2-3 orang). Anak saya kebagian peran sebagai Paman Guyan Jaran. Para pemeran (Narator, Mbok Rondho, Bawang Putih, Bawang Merah, Buto Ijo, Paman 1 (anak saya) dan Paman 2: Angon Bebek, Nenek-nenek serta para penari) berhasil menjalankan peran mereka dengan baik.

Drama singkat "Bawang Putih dan Bawang Merah" yang dimainkan oleh anak-anak SD kelas 4 dalam nuansa musik tradisional Jawa ini membawa berbagai pesan sosial, moral, dan spiritual yang penting. Mari kita coba membedah pesan-pesan itu bagi anak-anak kita. Pertama, secara sosial drama ini mengajarkan dua hal, yaitu 1) pentingnya hidup rukun dan adil dalam masyarakat. Bawang Merah yang bersikap kejam dan egois kepada Bawang Putih menunjukkan bagaimana ketidakadilan bisa merusak harmoni sosial. Sebaliknya, sikap Bawang Putih yang sabar dan baik hati mengingatkan kita akan pentingnya menjaga hubungan yang baik dengan orang lain. Dan 2) melalui tokoh Bawang Putih, anak-anak belajar untuk memahami dan menghargai perasaan orang lain. Empati dan toleransi terhadap orang yang berbeda latar belakang atau keadaan sosial sangat ditekankan, mengingat Bawang Putih tetap berbuat baik meski diperlakukan tidak adil.

(foto dari Bu Dewi, wali kelas IV)

Kedua, secara moral drama ini mengajarkan bahwa 1) Bawang Putih yang sabar dan penuh kasih sayang akhirnya mendapat kebahagiaan, mengajarkan anak-anak bahwa kebaikan hati dan kesabaran akan selalu membawa hasil yang baik. Sikap tidak membalas keburukan dengan keburukan menjadi pelajaran penting dalam kehidupan sehari-hari. Dan 2) Bawang Merah yang akhirnya menerima konsekuensi dari perbuatannya menekankan bahwa kejahatan dan ketidakadilan akan membawa akibat buruk. Ini mengajarkan anak-anak untuk selalu bertindak dengan jujur dan baik, karena setiap tindakan akan ada balasannya.

Sedangkan ketiga, secara spiritual drama ini mencerminkan 1) keyakinan bahwa kebenaran dan kebaikan akan selalu menang pada akhirnya. Nilai ini sangat penting dalam membentuk karakter anak-anak agar selalu percaya dan teguh dalam melakukan kebaikan. Dan 2) dalam konteks budaya Jawa, drama yang dibalut dengan musik tradisional memberikan nuansa spiritual yang kental. Musik gamelan dan lagu-lagu tradisional bisa mengajarkan anak-anak tentang pentingnya menjaga hubungan dengan Yang Maha Kuasa dan menghormati tradisi serta nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh nenek moyang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline