Sebelum malam memejamkan mata, tersembul refleksi tentang kue-kue tambang yang diberi pemerintah kepada ormas keagamaan. Setelah nyanyian penolakan perusakan alam merdu diperdengarkan tokoh-tokoh agama, tiba-tiba sebuah undangan makan siang berupa peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021. Tentu banyak kegundahan di sana sini bukan tentang siapa yang mengelola apa dan bagaimana itu dikelola. Tetapi terutama apa yang akan kita wariskan kepada anak cucu ketika hutan kian punah, bumi kian terluka dengan lubang menganga di mana-mana. Berikut tiga puisi yang mewarnai gundah gulana itu.
1)
Ketika hutan dirobohkan demi keuntungan singkat, kita mengubur masa depan dalam kekeringan dan penderitaan. Tanah yang subur menjadi tandus, menghilangkan warisan alam untuk anak cucu kita. Kegilaan karema keserakahan harus dihentikan sekarang, sebelum negeri yang kaya ini hanya menjadi kenangan yang menyedihkan.
2)
Di hutan rimbun, suara burung merdu bergema,
Namun tebangan kejam memotong lantunan alam.
Perkebunan sawit menari di atas reruntuhan,
Negeri yang subur, kini menanggung derita.
Rimba yang subur, kini terhempas oleh kepentingan,
Tak lama lagi, negeri yang penuh kekayaan,
Akan berubah tandus, terpanggang oleh keserakahan.
Anak cucu menanti, warisan penuh nestapa.
Air mata bumi tak lagi tersisa, kering kerontang,
Pohon-pohon tua berserakan, mengiba pada langit.
Ripah loh jinawi, kini berubah jadi rimbun keluh kesah,
Sawit yang tumbuh, merangkum derita tanah nan subur.
Tinggalkanlah pesan, seruan pada nurani,
Jangan biarkan, kekayaan alam menjadi pusara.
Kembali menjaga, hutan sebagai penjaga kehidupan,
Agar negeri ini tak terpanggil oleh kesedihan.
3)
Di ladang hijau, aroma lembut melambai,
dalam embun pagi yang menggoda.
Tangan rakus telah mengurai asa,
Kini tinggal ampas, dalam gelas yang kosong.
Runtuhan daun-daun, meratapi cerita masa,
Hijaunya pergi, tenggelam dalam rindu.
Namun rakus menyisakan, hanya sejumput debu,
Kopi terkikis, dalam kemarau keinginan.