Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

Menjangkau Sesama dengan Buku

Tiga Dampak Utama dari "Fake Productivity"

Diperbarui: 7 Mei 2024   23:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber gambar: kumparan.com)

TIGA DAMPAK UTAMA DARI "FAKE PRODUCTIVITY"

Oleh: Alfred B. Jogo Ena

Sebelum menutup pintu malam, saya ingin berpatisipasi dalam tema pilihan ini. 

Kata orang proses tidak mengkhianati hasil. Ya benar, proses yang serampangan juga akan menghasilkan hasil yang serampangan. Proses yang bagus akan menghasilkan produk yang berkualitas, bukan yang palsu, yang nampaknya menggembirakan di awal, tetapi justru penuh air mata di akhirnya. Proses dan hasil ini sering disebut dengan produktivitas (productivity) yaitu sebuah gabungan produk dan aktivitas, Kegiatan untuk menghasilkan sesuatu, baik itu berupa Produk ataupun Jasa/Layanan (bdk. ilmumanajemenindustri.com).

Ada pula banyak pengertian mengenai produktivitas menurut para ahli. Antara lain, Daryanto (2012:41), Produktivitas adalah sebuah konsep yang menggambarkan hubungan antara hasil (jumlah barang dan atau jasa yang diproduksi) dengan sumber (jumlah tenaga kerja, modal, tanah, energi, dan sebagainya) untuk menghasilkan hasil tersebut (bdk. ilmumanajemenindustri.com). Jadi produktivitas itu berkaitan antara sumber dan hasil yang diperoleh.

Lalu bagaimana dengan Fake Productivity atau produktivitas palsu? Sudah banyak yang mengulas tentang apa itu Fake Productivity atau produktivias palsu, yang tampak seolah-olah berhasil namun sesungguhnya bohong, yang nampak dikerjakan penuh kesungguhan namun sesungguhnya hanya "gaya-gaya."

Kali ini saya mencoba melihat tiga dampak utama dari fake productivity yang secara signifikan memengaruhi kita, baik secara psikologis, ekonomis dan spiritual.

Dampak Psikologis

Ada dua dampak utama secara psikologis yang memengaruhi kita akibat Fake Productivity ini. Pertama, stres dan kecemasan. Saya pernah bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan. Rasio naskah yang masuk dan sumber daya yang tersedia tidak berimbang. Kadang sebulan bisa lebih dari 50 naskah buku. 

Semuanya harus segera dievaluasi apakah layak diterbitkan atau tidak baik dari segi isi maupun penjualan. Sementara itu ada penulis yang tidak sabaran. Setiap hari menelepon menanyakan naskahnya layak atau tidak. Karena tekanan itu, naskah-naskah itu dikembalikan tanpa evaluasi. 

Naskah yang banyak tidak menjamin isinya bagus dan layak diterbitkan. Tetapi owner menghendaki kalau bisa semakin banyak terbitan semakin bagus (seperti tak peduli isinya seperti apa). Kerja model ini sangatlah tidak efektif, membuang-buang waktu untuk membaca naskah sampah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline