PERGINYA SI RINDU, PULANG DAN ANGKRINGAN
Catatan kenangan oleh: Alfred B. Jogo Ena
Pria berperawakan kecil dengan suara yang lembut, kata-katanya seperti selalu beranak alias menyampaikan pesan-pesan bersayap yang multi makna. Dalam. Objektif. Dan juga menjadi bagian keseharian. Tema-tema tulisannya sederhana, tetapi mengandung kritik diri dan kritik sosial yang amat mengena. Yang dikritik bisa sambil tersenyum membacanya tanpa merasa terusik (bisa karena asyik dengan mainan diksi Jokpin, bisa juga memang susah dikritik). Orang bisa betah ngobrol bersamanya ditemani kepulan uap kopi dan asap rokok, dengan aneka tema tentang kehidupan, mendongeng kata. Tak ada habisnya. Tapi tak ada yang tidak betah, seakan lupa waktu. Karena waktu bersamanya adalah kata.
Saya pribadi baru pertama kali bertemu Jokpin ketika ada kopdarnas Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG) kedua di Ambarawa, Agustus 2016 bersama beberapa pendamping dan pembina antara lain Eka Budianta (Jakarta), Tengsoe Tjahjono (Korsel-Malang), Rama Dr. G. Budi Subanar, SJ (Yogyakarta).
Hampir subuh kami menyelesaikan pertemuan perdana bagi sebagian besar dari kami penulis yang ada di Joglosemar: Jogjakarta (dan Magelang), Solo dan Semarang. Dalam perbincangan yang mulai diwarnai kantuk dan dinginnya (Ambarawa di malam hari) yang saya ingat sampai sekarang kata-kata Jokpin tentang menulis bahwa kalau mau menulis kita harus "mencari tema yang bisa dibaca secara berulang-ulang dan dicari berulang-ulang."
Jokpin menyoroti peran penulis katolik untuk Mewartakan Kasih melalui Karya Sastra. Menulis sebuah puisi itu gampang, tinggal kita bermain kata-kata. Tetapi yang sulit itu adalah bagaimana setiap puisi itu benar-benar menunjukkan kekatolikan kita, tanpa kita nyatakan secara gamblang kita katolik. Cukup orang membaca tulisan kita, orang langsung tahu kita katolik. Itulah yang susah. Butuh keberanian yang berdarah-darah (WANI NGGETIH, berani berkorban).
Kata-katanya itu sungguh ia sendiri hayati. Puisi-puisi dan antologi puisinya selalu dibaca dan dibaca ulang oleh para pembaca. Puisinya selalu tentang aneka tema kehidupan yang ditulis dengan sederhana dan diksi yang sulit untuk dilupakan. Karena setiap diksi yang dipilihnya, selalu menyiratkan dua tiga pesan yang sulit untuk dilupakan. Ingat saja kata-katanya tentang Yogya: "terbuat dari rindu, pulang dan angkringan." Rindu, Pulang dan Angkringan ketiga kata yang bagi siapapun yang pernah lama tinggal di Yogyakarta akan membenarkannya.
Tahun 2016 silam dia juga menulis sebuah puisi tentang retaknya relasi personal, relasi persahabatan, relasi kekerabatan akibat pilihan politik seseorang. Ia menggambarkannya dengan indah namun tajam dalam puisi Surat Untuk Ibu berikut ini.
SURAT UNTUK IBU
Akhir tahun ini saya tak bisa pulang, Bu.
Saya lagi sibuk demo memperjuangkan nasib saya
yang keliru. Nantilah, jika pekerjaan demo
sudah kelar, saya sempatkan pulang sebentar.
Oh ya, Ibu masih ingat Bambang, 'kan?
Itu teman sekolah saya yang dulu sering numpang
makan dan tidur di rumah kita. Saya baru saja
bentrok dengannya gara-gara urusan politik
dan uang. Beginilah Jakarta, Bu, bisa mengubah
kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan.