Oleh: Alfred B. Jogo Ena
Lebaran sudah memasuki hari kedua. Suasana kemenangan iman dirayakan dalam sukacita dan penuh persaudaraan oleh para saudara yang merayakannya. Suasana hening (mungkin karena tinggal di desa ya) yang diwarnai oleh mendung sejak pagi tadi, setelah sebelumnya kemarin hampir sepanjang sore hingga malam diguyur hujan. Hingar bingar orang merayakan kegembiraan ini mengingatkan saya akan sosok ibu kami yang sudah meninggalkan kami tiga tahun lalu menyusul ayah yang sudah mendahului sejak tahun 2007. Mengenang sosok ibu membawa saya pada pengembaraan berikut ini:
Pada suatu siang tepat di hari tahun kedua bapak meninggal, saya menelepon mama untuk meminta mama membakar sebatang lilin di makam bapak yang berada di samping rumah. Saat itu kurang lebih pukul 14.00 WIB atau pukul 15.00 di Flores. Handphone mama hidup tapi tidak ada reaksi sama sekali. Saya ulangi sampai tiga kali tetap sama. Karena takut terjadi sesuatu pada mama, saya lantas menelepon adik nomor dua yang tinggal terpisah dengan mama. Dia tinggal bersama suami dan dua anaknya di rumah mereka sendiri masih di dusun yang sama.
"Kakak lupa ya, kalau setiap jam tiga sore mama pasti sedang berdoa di kamar, maka segala bunyi apapun tak bisa mengganggu mama" kata adik saya dari seberang via HP. Saya langsung teringat kembali akan pengalaman kebersamaan saya dengan keluarga. Saya tinggal bersama keluarga hanya sampai kelas 3 SMP. Selebihnya hidup saya banyak di asrama hingga kemudian saya bekerja dan berkeluarga.
Saya kembali menelepon mama dua jam kemudian. Sembari mendengarkan permintaan saya agar Mama menyalakan lilin di makam bapak, mama lalu bercerita kalau saat saya telepon mama sedang mendoakan kami anak-anaknya. Hanya dengan doa mama bisa merasa dekat, mama bisa mengikuti dan menemani perjalanan hidup anak-anaknya. Betapa seorang ibu tetap setia kepada anak-anaknya meski terpisah oleh jarak dan waktu. Dan kesetiaan mama untuk menemani kami ini dilakukan setiap hari. Jika mama merindukan atau mengingat anak-anaknya, mama akan membawa kami dalam doa-doanya.
Dalam tulisan kali ini, saya tidak hendak menulis tentang bagaimana mama berdoa, tetapi tentang inspirasi di balik kebiasaan mama yang sangat baik itu. Dalam kesederhanaan sebagai seorang mama di kampung, mama telah belajar banyak pada seorang Ibu yang luar biasa.
Kepekaan Seorang Ibu
Dalam peristiwa pernikahan di Kana, Bunda Maria sebagai ibu yang sangat peduli dengan keadaan dapur, begitu tanggap akan kegelisahan keluarga yang berpesta. Mereka kekurangan anggur. Wah gawat, mau taruh di mana muka mereka jika anggur pesta habis? Mereka tentu akan jadi sasaran ejekan dan hinaan para undangan.
Kepekaan seorang ibu teruji. Bunda Maria mendekati putranya dan melaporkan situasi. Mereka kehabisan anggur. Tetapi apa jawab Yesus? "Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba" (Yoh 2:4). Bunda tidak peduli dengan penolakan Yesus, tetapi malah berkata kepada para pelayan."Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!" (Yoh 2:5).
Sebagai ibu, Bunda Maria lebih peka secara lahir dan batin atas kemampuan Putranya. Ia begitu yakin, Putranya bisa melakukan apa yang ia rasakan. Dan rupanya, jika kita menalar secara logis, benarlah bahwa kepercayaan sang ibu pada Sang Anak justru menumbuhkan rasa percaya diri-Nya untuk segera melakukan kehendak Allah yang menjadi tujuan hidup-Nya.
Peran Bunda Maria dalam pesta di Kana bukan semata-mata soal anggur secara fisik, tetapi terutama soal peran spiritual seorang Ibu kepada Anaknya. Peran spiritual dalam arti yang lebih sederhana telah dijalankan oleh mama dalam keluarga kami.