Lihat ke Halaman Asli

Alfonsus G. Liwun

Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Bahasa, Horison yang Luas dan Kreatif

Diperbarui: 17 Januari 2022   14:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu kata Bahasa dalam keragaman Bahasa setiap Negara (sumber foto: freepik.com/rawpixel.com) 

Bahasa itu banyak sekali. Hampir semua negara bahkan di daerah-daerah tertentu, memiliki ragam dialek bahasa tersendiri. Bahasa, khas memang. Bahasa muncul dalam sejarah sejak manusia pun ada.

Karena itu, bahasa merupakan hasil karya dan karsa manusia. Sebagai hasil karya dan karsa manusia, bahasa berkembang proses dari waktu ke waktu dan dalam suatu kelompok tertentu, hingga mendapat bentuk bentuk fonetik dan dialek yang menjadi khas sebagai alat komunikasi antar kelompok.

Orang-orang lain diluar kelompok, jika mau memakai bahasa kelompok lain, harus membutuhkan belajar dan paham apa maksud dari bahasa tersebut. Maka, bahasa itu simbol. Sebagai simbol, bahasa tidak hanya memiliki satu makna. Tetapi lebih dari satu. Itu berarti bahwa bahasa mempunyai horizon yang luas makna. Dan didalam horizon yang luas makna itu, membuka ruang bagi siapa pun, untuk kreatif memajukan bahasa itu.

Tidak salah, jika bahasa populer dan bahasa resmi, menjadi hal yang membedakan dalam setiap pemakaian bahasa itu sendiri.

Bahasa anak Jaksel?

Bahasa anak Jaksel dengan sepenggal bahasa asing atau bahasa suatu daerah yang disisipkan dalam Bahasa Indonesia, ataupun sebaliknya yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, bukan hanya di Jaksel. Fenomena berbahasa demikian hampir melanda setiap orang, baik itu di metropolitan maupun di daerah-daerah pelosok. Ini merupakan dampak dari penggunaan teknologi modern dewasa ini. Dan hal demikian ini pun, bukan hanya sekarang dengan keterbukaan teknologi modern, namun di masa-masa lalu, pun telah terjadi.

Sebagai contoh, Bahasa Indonesia mendapat serapan dari bahasa-bahasa lain, kata boneka serapan dari bahasa Portugis, kata boneca, juga dwifungsi, kata dwi dari bahasa sankreta, dll. Bedanya bahwa dulu serapan bahasa hanya kata-kata tertentu saja, tetapi sekarang seakan hampir satu kalimat, kemudian kalimat lanjutan baru bahasa Indonesia, ataupun sebaliknya.

Fenomena berbahasa seperti ini, memang kedengarannya, janggal untuk orang lain yang bukan sekelompok. Tetapi bagi suatu kelompok yang sudah terbiasa, akan menjadi terbiasa, dan bisa saja menciptakan peluang menjadi bahasa, alat komunikasi dalam kelompok tertentu sekaligus menjadi simbol untuk kelompok tersebut.

Konsekuensi logisnya ialah bahwa ketika mau memakai atau masuk ke dalam kelompok tersebut, kita harus belajar dan berusaha untuk memahami bahasa kelompok itu.

Inilah sebenar sebuah fenomena berbahasa dan lama kelamaan, akan menjadi biasa. Ingat sebuah pepatah ini, Allah biasa karena biasa. Begitu pun memakaian bahasa dengan campuran dari berbagai bahasa dan ragam dialek. Bisa saja memunculkan dialog yang baru sebagai khas suatu kelompok.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline