Lihat ke Halaman Asli

Alfonsus G. Liwun

Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Hidup dalam Kemajemukan dengan Pancasila dan Mukjizat Pentakosta

Diperbarui: 2 Juni 2020   16:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen dari Komsos Keuskupan Pangkalpinang (31/5/2020)

Hidup adalah sebuah proses. Karena sebuah proses maka menjadi suatu perjuangan. Perjuangan itu membutuhkan suatu daya dan tujuan. Tujuan yang ingin dicapai atas suatu proses perjuangan.

Dan tujuan yang mau dicapai itu, diperlukan suatu daya yang berasal dari diri sendiri. Dengan begitu, proses yang dijalani itu, memiliki powerfull dan tujuan. Tanpa itu, hidup menjadi stagnan, statis. Hidup tetapi kelihatan diam, yang tak berdaya, pasrah. Padahal secara esensi, hidup ialah dinamis, kreatif dan inovatif.

Pancasila, warna khas kemajemukan Bangsa Indonesia

Dalam proses ini, hidup yang demikian hanya boleh dilakoni oleh seorang manusia. Manusialah melakoni hidup yang didalamnya pemaknaan nilai dengan beragam peritiwa. Dalam istilah Sokrates, hidup hanya bisa dihidupkan ialah hidup yang direfleksikan. Hidup tanpa filosofis, bukan hidup, tetapi mati!

Dalam perjalanan sejarah berdirinya bangsa dan negara Indonesia, masyarakat tak pernah tinggal diam. Begitu juga kaum intelektual anak bangsa Indonesia. Masyarakat akar rumput melakoni hidup sosial dalam berbagai peristiwa sosial, kemudian dibantu kaum intelektual dengan pemaknaan yang lahir dari proses refleksi sistematis. Inilah yang membentuk karakter bangsa dan negara Indonesia.

Jadi, karakter bangsa dan negara Indonesia adalah hasil pemikiran yang jernih dan dengan hati bening kaum intelektual pendiri bangsa ini. Kepentingan yang dibangun dalam diri kaum intelektual pendiri bangsa dan negara itu, kepentingan umum, nasional, bukan kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Melalui para pendiri bangsa ini, totalitas elemen warga masyarakat dengan jamak latarbelakang, diangkat derajatnya.

Tidak hanya itu, namun martabat warga masyarakat itu diterima, diberi warna khas, dan dirumuskan dalam satu kesatuan, dengan tidak mengsirnakan plural, itulah karakter bangsa Indonesia, yang begitu bernas, yang kita sebut hingga hari ini, Pancasila. Karakter bangsa itu diperkuat, difinalkan dalam bentuk hukum, itulah Undang undang Dasar 1945 yang kemudian diejahwantakan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.

Sampai di sini, bagi saya tidaklah mengherankan jika komitmen Presiden Joko Widodo kembali menegaskan Pancasila harus dijaga dan ditegakkan ketika arus radikalisme marak ditengah-tengah masyarakat kita, dengan membentuk sebuah badan khusus yang kita kenal "Badan Penguatan Ideologi Pancasila" (BPIP). Itu artinya, Pancasila sudah final, tak bisa digantikan lagi dengan ideologi manapun.

Dalam konsep kebangsaan untuk mempertahankan tegaknya bangsa ini, kemajemukan hidup, dan persatuan dan kesatuan republik ini, saya sangat setuju. Bangsa ini dalam perjalanan historinya, bagai kapal ditengah lautan, yang telah menghadapi berbagai tantangan, hambatan, dan ancaman.

Dari keseluruhan tantangan, hambatan dan ancaman itu, yang paling utama ialah tantangan, hambatan dan ancaman dari dalam sendiri. Bagai musuh dalam satu selimut yang sama. Diam-diam tetapi memiliki "muatan" tertentu. Pura-pura diam, tetapi sedang dalam perencanaan strategi yang tidak bersinergi dengan kapten kapal Indonesia.

Dalam menjaga, merawat, dan lebih dari itu, memperjuangkan kehidupan berbangsa dan bernegara, semestinya setiap elemen masyarakat Indonesia menyelaraskan dan menyeimbangkan hidupnya dengan nilai-nilai khas Indonesia. Mengutip apa yang dikatakan Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, dalam bukunya Sumbangan Agama Membangun Kerukunan Di Indonesia, menegaskan "enam kesadaran manusiawi", yang merupakan pengejahwantaan dari Pancasila.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline