Lihat ke Halaman Asli

Alfonsus G. Liwun

Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Buruh Keburu Buruk...

Diperbarui: 1 Mei 2020   23:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi, 1 Mei 2020 di kebun sendiri

Hari buruh selalu diperingati setiap tanggal 1 Mei. Esensinya, tidak perlu diperingati secara khusus. Tetapi lebih bernilai, jika selalu diingati setiap hari atau saat. Jika hanya diperingati setiap tahun tanggal 1 Mei, maka keburu terlupakan maknanya. 

Saya lebih suka mengatakan maknanya daripada tugas dan tanggungjawab buruh. Karena jauh lebih bermakna dari sebuah kerja ketimbang hanya diperingati saja. Karena melalui kerja, buruh telah memberikan makna bagi orang lain. Maka kerja tidak hanya untuk dirinya saja.

Hari ini tanggal 1 Mei, ada tiga peristiwa penting yang selalu saya ingati. Pertama, kepergian untuk selamanya bapak saya. Seorang bapak yang begitu setia dengan pekerjaannya sebagai seorang petani. 

Dia pernah mengatakan kepada saya, jika kamu sekolah begitu tinggi, toh hanya satu saja yang dicari selama hidupmu. Ketika dikatakan begitu, sontak dahi saya jadi mengkerut. 

Dalam pikirkan, begitu banyak yang kupikirkan saat itu. Ada banyak hal yang kuajukan jawaban, untuk menanggapi kalimatnya. Dari banyak jawaban saya, rupanya tak satu pun yang benar menurutnya. Lalu, saya pun mengajukan pertanyaan balik, menurut bapak apa?

Entah sekolah atau tidak, toh yang dicari orang ialah perut kenyang. Mendengar jawaban itu, saya pun duduk terdiam. Terdiam karena, pola berpikir yang ada dipikiran saya, tidak sebanding dengan pola berpikir orang sederhana. 

Seorang yang sehari-hari bergelut dengan tanah dan air, hutan yang bebatuan, udara dan angin, panas terik dan dingin menusuk tubuh. Jalan kaki setiap hari pergi dan pulang dari kebun. Belum lagi ketika pulang kebun, kedua bahunya terlihat ada barang-barang yang dibawa untuk ternaknya. Boleh kita mengatakan ini buruh? Dapatkah ini kita sebut sebagai manusia yang sedang memaknai hidupnya dengan pekerjaan?

Buruh bekerja sepanjang jam. Ia memang dipekerjakan, jika boleh dikatakan demikian. Tetapi jauh dari itu, dia sebenarnya sedang berusaha sekuat tenaga memanusiakan manusia. Dia bekerja supaya dia hidup. Dia bekerja supaya anggota keluarganya, tetap hidup. Dia bekerja agar yang memperkerjakan dia pun dapat hidup dan usahanya bertahan. Maka satu pertanyaan yang mengusik saya ialah sejauhmana seluruh elemen masyarakat membantu mereka untuk hidup layak dan tenang?

Kedua, peristiwa yang dialami setiap saat yaitu bekerja. Bekerja adalah suatu aktivitas yang mengasah pikiran, mengola fisik, setulus hati berjuang karena yang dikerjakan demi banyak orang. Bekerja, bukan hanya didapat upah.

Upah memang dibutuhkan. Upah memang layak diterima. Upah memang kelihat karena hasilnya bekerja. Apakah kita tahu bahwa upah itu juga keburu habis? Justru yang harus kita perhatikan dan mungkin harus kita pertahankan dalam konsep berpikir kita adalah manusia yang bekerja itu sedang berziarah menuju penemuan jati dirinya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline