Lihat ke Halaman Asli

Alfonsus G. Liwun

Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Sepi... Sophia

Diperbarui: 22 April 2020   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar oleh Eduwardo S. Prima Saputra

Jalan di depan workopies, sepi. Tidak seperti biasanya. Apalagi workopies itu, berdiri di tengah kota, perempatan, singgahan anak-anak milenial entah pergi kerja ataupun pulang kerja. Bahkan biasanya sehabis malam mingguan, besoknya pun masih tetap datang, duduk, mengobrol, sambil mengopi. Kopi, memang penuh inspirasi. Mengejutkan naluri seseorang dan menghanyutkan dalam obrolan dengan tema apapun.

Sophia, itulah nama pelayan workopies. Rambut panjang. Murah senyum. Lesung pipih lagi. Antusiasmenya tinggi sekali, ketika hadir seseorang pencinta kopi di workopies itu.

Kata Maxi tetangga kursi, "itu namanya Sophia kawan!" Saya pun menggeleng-gelengkan kepala. "Memangnya kenapa?", balik tanya kepada Maxi. Maxi kemudian mendeskripsikan kembali Sophia. "Anak baik kawan! Tetangga saya! Dulu kecil sering sama-sama bermain kelereng. Dia kecil dulu, lincah jika dia mengutik kelereng dan langsung kelereng itu tepat sasarannya, masuk lubang!"

Kok, Maxi jadi ingat masa lalu?", sergapku lagi! "Iyalah kawan, masa kecil itu, masa yang indah. Polos dan jujur, terus diungkapkan. Tak ada kepalsuan yang keluar dari mulut! Sekarang ini, tidak bisa ditemukan lagi. Sirna bro!", jelas Maxi tersipu. Apalagi setiap kali ada berita, selalu ada komen, komennya itu penuh fitnah, merendahkan orang lain, kalau tidak komennya itu provokatif. Manusia zaman now ini terkesan lebay dan alay, tetapi jiwanya itu, jiwa sensitif, lanjut Maxi dengan mata sedikit belalak.

Kudengar catatan Maxi. Kuanggukkan kepala. Kutundakkan kepalaku, sambil teringat juga masa-masa kecilku. "Benar sekali Maxi", cetusku. Maxi pun menatapku. Ia kembali menegaskan lagi, "Manusia kontemporer, itu manusia misterius dan problematika," lanjutnya. Aku pun terusik apa yang dikatakan Maxi. "Apa itu manusia misterus dan problemata, Maxi, " tanyaku lagi.

Maxi pun dengan suara bisik, lalu mengatakan kepada saya, "bro, manusia misterius itu manusia yang ada dalam multi dimensi, dimensi ini terselesaikan, tapi dimensi lain seakan tertutup dan sulit kita pahami. Butuhh waktu dan tenaga ekstra untuk menegerti. Disinilah daya nalar kita pun harus dinamis untuk menelurusi lorong-lorong gelap manusia itu." Jelas Maxi penuh filofofis.

Lalu lanjutnya: "Manusia problematika itu manusia yang terlilit dengan jamak problem. Problem itu harus dapat dilucutkan bila terbuka dan secara dinamis menerima input dari luar. Manusia tanpa yang lain, adalah nihil. Bagai sumur tanpa dasar", timpalnya diikuti dengan senyum optimis.

Ketika itulah, workopies larut dalam sepi. Sophia yang dari tadi ikut memantau dengan tatapan seduh, karena terlalu lama duduk di workopies, sementara jiwa Sophia seakan telah sampai diperaduan dengan hiasan kamar tidur yang kecoklatan. Aku pun berani mengajak Maxi untuk cepat-cepat keluar dari workopies. Kami pun melanjutkan obrolan malam itu dalam perjalanan pulang. Malam itu, topik manusia menjadi hangat. Iya... begitulah Maxi, Manusia itu memang misterius dan problematik," ungkapku. "Sophia pun manusia misterius dan problematika, bro, timpalnya, sambil mengucapkan selama malam bro. Kita ke tepian dulu. Salam... **




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline