Lihat ke Halaman Asli

Alfonsus G. Liwun

Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Tragedi Salim Kancil, cs: Tragedi Kemanusiaan yang Terulang Kembali

Diperbarui: 10 Oktober 2015   13:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Hanya meninggalkan bekas, siapa dan dimana harus ditelusuri..."][/caption]

Sudah berapa banyak dalam sejarah dunia ini, mengisahkan tragedi kemanusiaan ‘homo homini lupus’ dalam lantunan Thomas Hobbes yang berjudul De Cive (1651)? Semestinya manusia sejagat ini belajar tentang kisah tragedi kemanusiaan, sehingga dalam renretan sejarah tragedi ini tak terulang kembali.

Berbagai tragedi kemanusiaan di dunia ini telah membuka mata dan hati semua orang yang hidup dalam sebuah planet yang namanya bumi. Tragedi kemanusiaan dalam jenis apapun, terjadi dengan cara pun, dan dimana pun tragedi itu terjadi, semestinya manusia harus memiliki keunikan pengalaman akan hal ini. Justru ketika tragedi kemanusiaan selalu terulang lagi, ‘pengalaman adalah guru’, menjadi sirna. Yang terjadi ialah sikap egoisme diri, kesombongan, dan ‘kebegalan’ menjadi soko guru pada lapisan kemanusiaan yang oleh Sigmund Freud (1856 -1939) sebagai ‘ketidaksadaran’ (unconscious). Dari dalam lapisan pengalaman ‘ketaksadaran’ itu, ada banyak hal yang tersingkap secara jelas. ‘Papan gelap’ manusia lebih ditonjolkan ketimbang manusia adalah makhluk mulia, Imago Dei. Maka pada titik ini, kita boleh belajar sebuah peta buta dalam hati orang-orang yang tampil sebagai pro pertambangan itu sendiri. Walaupun masih saja ada pengalaman yang ada di sebuah buritan kapal yang tersembunyi rapih, sebagai sebuah rencana jahat terselubung.

Makna Sejarah Tragedi Kemanusiaan

Belajar dari setiap peristiwa yang menimpah manusia, baik dalam skala kecil maupun skala besar, justu yang ditampilkan ke permukaan ialah karena ulah manusia itu sendiri. Dicatat oleh Paul Michel Foucault (1926-1984), seorang filsuf asal Perancis, sebagai sebuah lembaran kelam sejarah kekuasaan. Foucault menyebut secara terselubung bahwa kekuasaan tidak hanya dipegang oleh si penguasa, akibat memiliki suatu jabatan tertentu, tetapi justru kekuasaan itu sendiri lahir dari sebuah sejarah kemanusiaan yang secara berantai terulang kembali dihadapan publik, akibat manusia tidak belajar serius akan makna terdalam dari sebuah sejarah tragedi kemanusiaan selama ini. Dan sejarah hanya diingat karena ada peristiwa tragis tanpa mempunyai sebuah makna terdalam untuk menggoncangkan ‘perasaan tercabik’ manusia, untuk bangkit dan bertindak-aksi nyata kebaikan. Sejarah pada akhirnya menjadi sebuah momentum publik yang hanya sebagai sebuah pajangan akan suatu moment berdarah-yang menghanguskan manusia atau barang-barang lain, tanpa makna dapat dipetik untuk menghentikan tragedi kemanusiaan. Sejarah tragedi kemanusiaan, tetap menjadi kekelaman jiwa manusia dan hitam-pekat sejarah itu sendiri.

Memaknai Tragedi Kemanusiaan yang dialami Salim Kancil, cs

Terhubung dari sejarah tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi, manusia seakan lupa akan nasib hidupnya sendiri. Bahwa hidupnya bukan ditentukan oleh ‘the others’: ‘human and infrahuman’, melainkan dimaknai oleh ‘the others’ sebagai sosok manusia yang menyejarah dalam dunia ini. Karena itu, kekelaman dunia mestinya bukan karena ‘alamiah’ tetapi justru harus direfleksikan ulang sebagai kepongahan manusia terhadap alam itu sendiri. Manusia meremetemehkan alam sebagai the others yang memaknainya. Sebaliknya mau menghancurkan alam dengan cara tidak hanya menggali habis isi perut alam tetapi juga menghancurkan manusia atas nama ekonomi dan sesama sebagai pembuat sejarah dunia lebih khusus sejarah manusia.

Jika manusia sungguh memahami alam dengan seluk beluknya yang sangat mendalam, tentu alam tidak dihancurkan sembarangan saja, apalagi membunuh manusia, seperti terjadi pada diri Salim Kancil, cs di Lumajang Jawa Timur, baru-baru ini. Tragedi yang menimpah Salim Kancil, cs karena menolak tambang pasir adalah sebuah tragedi yang mencabik harga diri manusia yang adalah pelaku sejarah manusia dalam dunia, sekaligus mencabik habis sistem demokrasi Pancasila Republik Indonesia. Karena tragedi itu, suara Salim Kancil, cs tak terdengar lagi. Suara Salim Kancil, cs tidak dihargai, malahan menjadi lawan ditengah komunitas desanya sendiri. Suara Salim Kancil, cs yang menjerit karena kesakitan, kini dialami oleh setiap manusia yang menatapnya termasuk anak-anak. Jeritan Salim Kancil, cs tak terdengar lagi. Ia sudah pergi untuk selamanya. Tetapi, jeritan hati nurani manusia yang menyaksikan dan jeritan kejiwaan anak-anak yang ketakutan adalah fakta otentik sebagai penyambung lidah Salim Kancil, cs dengan lidah masyarakat luas di tingkat nasional maupun internasional. Issue warning global mencakup issue kemanusiaan dan lingkungan hidup lebih yang terhembus dalam skala Internasional, tidak menjadi isapan jempol belaka. Tapi, kini nyata, hadir di bumi Nusantara Indonesia, walau tragedi kemanusiaan ini bukan yang pertama kali.

Ini menandakan bahwa perjuangan ekonomi, perjuangan hidup layak manusia, dan yang lebih essensial hak hidup tetapi dengan cara menghancurkan alam, menghancurkan sesama, menghancurkan sistem kekeluargaan dan demokrasi dalam desa, merupakan cara yang tragis dan tanpa memiliki nurani jernih akan nilai-nilai kemanusiaan. Padahal kalau mau direfleksikan secara filosofis bagai seorang arkeolog, demokrasi dan kekeluargaan yang menasional saat ini di RI,justru lahir dari sebuah desa. Di desa peradaban ini terpelihara dan mekar hidup. Jika di tingkat desa, justru demokrasi dan kekeluargaan telah hancur, jelas bahwa sistem sosial dalam struktur kemasyarakatan pun akan terus terkeruk, bagaikan penambang pasir terus menggali perut alam Lumajang.

Perut bumi Lumajang tidak lagi sebagai seorang ibu yang sedang mengandung hidup generasi masa depan Lumajang, yang mewakili ibu pertiwi lain di Nusantara yang harus dihormati, dihargai, dan dilestarikan, malahan dioperasi, dibedah, digali bagai seorang ‘arkeolog yang rakus’ yang ingin memperkaya diri dan menikmati aksesoris hidupnya, tanpa mempertimbangan rasa perikemanusiaan sedikitpun dan masa depan generasi berikutnya.

Maka pertanyaannya ialah transendensi hidup manusia itu mau menjadi homo homini lupus atau homo homini socius? Disinilah citra manusia dipertaruhkan dengan sikap kasar others: infrahuman. Bahwa rasional manusia adalah kekhasan yang melebihi karya Tuhan yang lain. Bahwa kehendak manusia jauh lebih bebas untuk membuat pertimbangan berdasarkan rasionalnya ketimbang berada dalam sekat, mendominasi karena ketidak setujuan dengan kemajukan. Karena itu menalar itu penting. Bukan adu jotos yang diutamakan. Musyawarah adalah nilai kemajukan dalam berpendapat, terpental akibat jotos-jotos kebrutalan manusia. Sejarah tragedi kemanusiaan terisi dalam bingkai sejarah pasir dengan nyawa. Ini yang sangat menyedihkan manusia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline