Lihat ke Halaman Asli

Alfonsius Febryan

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Nasib dan Persoalan Keberuntungan

Diperbarui: 28 Februari 2021   21:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap perjuangan hidup manusia sesungguhnya tak terlepas dari kehendak untuk berimbang secara sejajar dengan sesamanya, memperoleh kebahagiaan, mendapat kekayaan secukupnya, serta dapat mempertahankan kesejahteraan baik kini maupun nanti, tentu tak lain tak bukan demi mempermudah generasi ke depannya agar tak begitu sulit menghayati hidup secara semestinya. 

Pada bilik kenyataan demikian tak terdapat keterbatasan, semua dijamin dengan kecukupan disertai kejujuran yang memadai untuk saling menghargai hak kebutuhan satu sama lain, tak ada persaingan sebab semuanya saling memahami dan tahu apa arti kecukupan serta nilai-nilai bagi keperluan hidupnya. 

Mungkin hal tersebut tentu sulit ditemui, karena memang manusia dididik untuk terus menerus mencari kebutuhannya, bukan karena berimbang tapi karena manusia tak begitu mengerti apa yang mendesak untuk kepentingan hari ini dan terlalu rakus dalam merebut hak orang lain, sehingga sengketa antar manusia tak terhindarkan hingga konflik seringkali menjemput nyawa bahkan darah menjadi sebuah pengorbanan di mana tak semestinya perlu jika manusia tahu dalam membatasi kerakusannya, demikianlah kisah untuk Papua, kemanusiaan yang tenggelam dan hanya menjadi keprihatinan tanpa seorang untuk belajar dari Papua. 

Dan untuk memerangi itu, aku dalam tulisan ini ingin berseru tentang satu hal, yakni kepedulian kita untuk adil di hadapan sesama sebagai nasib kodrat kita sebagai manusia.

Nyawa dan Daya Timbang

Tertanggal 15 Februari 2021 di Intan Jaya kurang lebih dua pekan lalu terjadi pembunuhan tiga warga sipil yang dapat dilihat di media Jubi Hanya saja terkait peristiwa tersebut ingin aku bagikan beberapa perspektif dari hati ini, andaikata jika aku ada bersamaan peristiwa tersebut terjadi. Tentu panik, shock, serta sangat begitu takut tentunya oleh karena berada pada wilayah di mana secara tiba-tiba saja muncul suara dari pelatuk senjata, di mana hal tersebut tentu tak pernah dipikirkan pada hari-hari jika aku ada pada wilayah itu. 

Jika sebagai masyarakat sipil pastilah terkejut dan merasa tak begitu damai, hingga mungkin memilih untuk mengungsi mencari kedamaian pada rumah di salah satu pemuka agama yang bijaksana, karena aku tahu peluru tak akan berani nyasar seenaknya jika berhadapan dengan pemuka agama nan bijaksana. 

Bila aku memiliki keadaan berkecukupan, pastinya aku akan menyewa pesawat dan terbang menuju kampung halaman demi tujuan menyelamatkan diri. Tapi mungkinkah salah satu pikiran tersebut menjadi sebuah pilihan untukku? Lalu jika aku memilih tindakan demikian, apakah aku begitu tega untuk menyelamatkan diri ini sendiri?

Percuma saja, toh di antara pertikaian dari pihak-pihak itu pun memangku sebuah tanggung jawab yang tidak kecil. Satu pihak harus membela negara sebagai alat keamanan dari republik ini, tetapi di lain pihak kelompok lain tengah memperjuangkan hak mereka atas kedaulatan tersendiri, akibat tak lagi timbul kepercayaan akan damai sebagaimana menjadi janji dari tiap-tiap periode, alhasil tetap saja masyarakat setempat menjadi imbas dari perseteruan ini. Hingga dari saat itu pula aku sejenak memikirkan satu hal mungkin apakah karena akibat tuntutan membuat siapapun manusia seringkali bertindak lebih garang terhadap sesamanya? 

Mungkin Sartre bisa dikatakan benar bahwa orang lain adalah neraka, tepat ketika sekumpulan manusia tak dilihat sebagai subjek yang hingga lebih menganggapnya lebih mudah dijadikan objek demi menggagas suatu konsep damai atas suatu wilayah. Walau demikian terhadap kekuasaan siapa yang berani menyuarakan jujur terhadap daya timbangnya, sebab semua membutuhkan satu keadaan agar dapat hidup dan berkelanjutan di muka bumi ini. 

Sekalipun bertindak jahat atau menghabisi satu nyawa, asalkan dapat menafkahi diri dan juga orang-orang tersayang siapapun rela, sekalipun bertindak anarkis asalkan demi harapan kemerdekaan sendiri bagi generasi mendatang apapun siap dilakukan. Maka persoalan tinggal di tanah konflik bukan hanya pertaruhan antara kebaikan dan mulianya manusia tetapi lebih kepada ketentraman pribadi disitulah letak kekuasaan atau di sisi lain harapan merdeka memiliki kekuatannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline