Lihat ke Halaman Asli

Alfonsius Febryan

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Masihkah Manusia Meragu?

Diperbarui: 12 Desember 2020   10:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Apakah akal adalah hal yang dibabtis sementara hasrat adalah cerminan jiwa yang kafir? Demikian pernyataan awal 'either or' nya Kierkegaard. Pandangan buku ini tidak diringkas dengan rapi, tetapi diekspresikan sebagai pengalaman hidup yang diwujudkan oleh penulis dengan nama samaran. 

Perhatian utama buku ini adalah pertanyaan utama yang diajukan oleh Aristoteles , "Bagaimana seharusnya kita hidup?" Tentu sontak pertanyaan ini memberi suatu paradigma bahwa kenyataan atau dengan kata lain realitas adalah tak selalu disadari berdampingan pada interior manusia, justru manusia seakan dibawa untuk berpikir dan sekaligus menjawab jalan mana untuk layak hidup sebagai manusia di tengah alam liar yang tak begitu pasti ini. Kieerkagard mengajak sejenak realitas diri ini untuk berkanjang menuju sebuah kedalaman, yakni mempertanyakan apakah masih ada tempat manusia meragu di dalam dirinya serta dihadapan fenomena ini.

Sangat teringat di kepalaku terkait adagium lama Rene Descartes, kecerdasan intelektual adalah aku (cogito ergo sum). Manusia bahkan direduksi sebagai 'animal rasionale, kekhasannya bukan pada dimensi sensitive hewan atau vegetative tumbuhan (Aristoteles). Hanya saja ketika berefleksi terkait kajian filsafat dari abad Yunani Kuno terkait pentingnya akal ini secara langsung perlu juga merujuk pada etika kehidupan Stoa, yang mentahtakan hidup yang bijak adalah hidup yang sesuai dengan akal. 

Nafsu tidak hanya harus dikendalikan tetapi harus diaskese sedemikian rupa sehingga kita tidak merasa apa-apa di hadapan keinginan (apatheia). Inilah hidup bijak yang menjadikan kita bahagia, kaya, benar, berani dan indah. Seruan terhadap akal dan juga kekhasan berpikir manusia menjadi sebuah batu loncatan, di mana menandakan bahwa tak ada satu pun manusia persis sama, baik dalam kemampuan berpikir dan kedewasaan mengelola diri. Itu sebabnya Immanuel Kant pada abad modern lebih tepatnya mazhab idealisme menyerukan adagiumnya yakni sapere aude berani berpikir sendiri.

Sebelum menukik ke orientasi dasar manusia untuk berkuasa dan bertentangan dengan kaum idealis, Schopenhauer telah terlebih dahulu menegaskan bahwa kehendak untuk hidup adalah esensi realitasi apa saja. Segala yang ada tak punya tujuan selain untuk hidup. Keabadian adalah tujuan kita semua, yang secara sengit akan bertarung dalam saat sakrat maut. 

Di hadapan kematian yang merupakan kepastian, kehendak hidup sebagai dasar dari realitas menimbulkan derita dan sakit abadi karena kekurangan yang terus diperlihatkan kenyataan. Kiranya seruan Schopenhauer terlihat begitu memberi kesadaran diri agar tak melulu melekat pada realitas, hanya saja pandangan tersebut, tak lain tak bukan adalah suatu ungkapan representatif dari Epictetus agar kiranya senantiasa memiliki rasionalitas yang senantiasa berkontradiksi, agar tak berbalut pada keyakinan semata.

Pada keterkaitan dan kelekatan aku sejenak memberi paradigma dari sudut terdalam dari sang filsusf bernama Martin Buber yang membedakan relasi intersubjektif dan relasi subyek obyektif. Relasi subyek dengan subyek berprandaian bahwa orang lain itu bukan saya atau tidak bisa direduksi kepada tangkapan intelektual subyek. Apa yang penting adalah masuk dalam relasi dan biarkan orang lain mengekspresikan diri. 

Hal terpenting bukannya pengertian pertama-tama tetapi berhubungan dengan orang lain dengan seluruh diri kita. Ketika pengertian diprioritaskan orang lain menjadi properti intelektual. Inilah relasi aku dengan benda.  Relasi inter-subyketif berurusan baik dengan manusia, alam semesta dan dengan Tuhan. 

Relasi intersubyektif alamiah-humanis adalah gerbang menuju relasi dengan Tuhan. Kenyataan alamiah-manusiawi adalah simbol, jejak dan gambaran keilahian (Bonaventura). Hanya dalam yang tepat, yang tidak mengobyekan, yang menampilkan dan mengapresiasi seluruh diri, kita bisa menikmati 'secuil' hubungan dengan Tuhan. Keterhubungan dengan orang lain adalah kehadiran di hadapan sesama. Inilah titik awal untuk menegaskan bahwa relasi adalah kenyataan yang sesungguhnya. Kenyataan ini akan menjadi kosong ketika kita tidak sepenuhnya hadir pada kenyataan orang lain yang sedang dialami kini.

Pasalnya ketika memaparkan semua ide ini tersadarkah kekosongan itu masih tetap ada? Tentu, saat semua paradigma menyatu dan dijadikan bahan konsumsi publik dan seolah menciptakan drama baru di hidup kita bila menemukan titik yang siapapun menerima ini akan tergugah dan seakan memiliki paradigma hidup baru, hingga mungkin melahirkan influencer sebagai representasi dari seluruh kiblat manusia yang kurang mampu menyetarakan hidupnya dengan orang lain. 

Lantas di manakah pijakan kita sesungguhnya untuk menjawab bagaimana kita harus hidup? Teruslah meragu itulah syaratnya agar kuat dihadapan realita yang kian tak dapat ditebak. Meragu membuat manusia akan selalu mencari dan tanpa henti mencoba berelasi dengan akal serta sesamanya untuk arah kehidupan yang lebih matang. Bukan hanya menerima melalui asas keyakinan, tetapi berpikirlah dengan kritis sebagai kesiapsediaan terhadap kesempatan dan juga problema dari bilik-bilik kenyataaan nan serba misteri ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline