Lihat ke Halaman Asli

Alfonsius Febryan

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Pangeran Bulan dan Permaisuri Bintang

Diperbarui: 22 September 2020   00:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pikiranku dijamah oleh pekatnya malam, membuat hati terasa begitu ingin menyentuh nuansa objektif dari salah satu ruang gelap yang memungkinkan cahaya semesta masih tetap bersinar. Itulah pangeran bulan dan permaisuri bintang.

Apa yang membuat mereka tampak sebagai kekasih diantara remang-remang kekosongan dari gelapnya malam itu sendiri? karena mereka tetap setia terhadap kodrat tanpa harus menggubris pesan apapun kepada mereka agar mereka bersinar lebih terang.

Setiap benda bila dipandang seobjektif sesungguhnya dapat berdiri dengan keyakinan tanpa harus selalu menuruti kemauan dari subjektif seseorang. Apakah mungkin karena kebebasan?

Sesungguhnya tidak selalu, didalam relung tiap pribadi tentu akan tetap senantiasa mempolakan diri dengan keberlangsungan dari proses, sebagaimana ruang dan waktu selalu memberi tiap misteri yang senantiasa tak kita mengerti bahwa semua itu lebih dari yang kita mampu.Apa alasannya kita masih tetap bersikukuh untuk berupaya melampauinya? tak ada yang mengerti.

Ada kalanya seruan coba saja dulu pasti nanti lama-lama ketagihan menjadi propisisi mutakhir agar tiap manusia berlatih untuk keluar dari kenyamanannya dan memekarkan diri dengan pengalaman yang mungkin  dapat menumbuhkan kedewasaan bagi pribadi-pribadi. Tetapi apakah itu cukup? tentunya tidak jika gagal siapa yang menjamin, jika terluka dan menghadapi trauma dapatkah diperbaiki?

Pada mulanya manusia yang berhadapan dengan hal baru pasti akan memunculkan keraguan di dalam dirinya, semua tampak seperti begitu kuat dibanding kemampuan yang sempat terhitung dari dirinya berdasarkan refleksi, bahkan saking melihat hal itu sebagai yang tidak layak tentu menjadikan hal itu enggan untuk disentuh, agar menjauhi tindakan linglung jika pertama berhadapan dengan salah satu tanggung jawab yang di luar kekuatan kita itu sendiri.

Namun siapa sangka tanpa alasan dan jaminan yang kuat itu manusia justru terjebak untuk memaksa hingga menjadi bisa dan mampu untuk melakukan dan berhadapan dengan tanggung jawab yang sedemikian rupa itu.

Pada dasarnya semua yang masih bersifat potensi masih punya kemungkinan untuk dapat berdaya guna, tetapi hal inilah yang menjadi sebuah problema, di dalam batasan manusia. Yakni ketaksadaran bahwa setiap terbentuknya keutuhan, sesungguhnya alur yang sangat masih misteri dan di dalam alur misteri itu manusia terjerembab hingga tak dapat mengerti bahwa semua misteri itu hendaknya perlu untuk disyukuri.

Sebab kita tahu itu merupakan misteri tetapi kita masih punya keraguan karena tak memiliki landasan untuk merefleksikan keseluruhan hari dengan rasa syukur dan bahkan trimakasih. Pada apa? pada yang nama-Nya kini masih berupa misteri. 

Kebanyakan diantara kita berpikir bahwa sesungguhnya seluruh hari ini merupakan hikmat dari Sang Pencipta untuk kita syukuri. Tetapi sungguh hal tersebut membuatku minder karena seluruh yang ada di bawah langit senantiasa berurusan dengan yang ada di atas langit di mana selalu berjibaku dengan yang transenden tapi tak melihat semesta ini baik adanya.

Tetapi mungkinkah pernah ada yang melihat bahwa seluruh hari ini merupakan kerja sama antara semesta dan tanggung jawab kita memelihara hidup? Mungkin tak terpikir agar sejenak melihat sahabat semesta serta menyapa mereka hingga berjanji agar nanti di hari esok dapat melihat rumput itu tetap berwarna hijau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline