Lihat ke Halaman Asli

Alfonsius Febryan

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Mempertanyakan Eksplorasi sebagai Pelajar

Diperbarui: 19 April 2020   22:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan dimaksudkan supaya manusia mencerminkan lingkungannya dengan tepat lewat pengetahuannya yang diperoleh dengan kecerdasan supaya ia melibatkan diri secara emosional dengan cinta, keramahan, dan keadilan pada sesama" (Russel,1993:xv).

Berapa banyak guru yang berani "mengajak" muridnya berpikir dengan melempar suatu pertanyaan tentang hal baru yang belum diketahui dan yang tidak ada di buku cetak? Pun ada, seberapa besar persentase murid yang mau menanggapi dan menganggap serius pertanyaan yang diajukan?

Berapa banyak murid yang mati-matian belajar bahasa Inggris hanya untuk lolos TOEFL yang ia anggap pengorbanan supaya nantinya, "bisa dapat kerja"? Berapa banyak murid yang pandai sekali belajar IPA hanya sekadar karena ada anggapan, "supaya cari universitasnya gampang dan bisa dapet jurusan yang dibutuhkan di dunia kerjanya mudah". 

Fenomena di atas menggambarkan suatu kutipan, "I studied but I didn't learning anything". Hal ini sangat bertolak belakang dalam artikel pendidikan yang ditulis oleh Max Rafferty pengajar cum politisi yang berjudul "Pendidikan yang Mendalam". Rafferty memberikan contoh terbaik bagaimana belajar sebagai studi itu perlu dilakukan. 

Ia menjelaskan bahwa posisi belajar adalah aktivitas yang dilakukan hanya demi menjunjung tinggi segala kualitas yang mengedepankan ilmu pengetahuan dan perkembangannya. Ia sangat mensyaratkan guru yang memahami satu bidang disiplin ilmu sedalam-dalamnya dan perlu adanya pemilihan buku-buku sastra yang berkualitas agar dibaca kepada anak.

Sedangkan apa yang diharapkan dari murid adalah kesiapan untuk terlibat total dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Harus diakui ada dimensi otoritatif dan sedikit konservatif atas metode yang ditawarkan oleh Rafferty.

Tetapi, keunggulannya adalah dia tidak melupakan sisi penting dari studi yang berpangkal pada kaidah ilmu pengetahuan dan rasa ingin tahu antarkedua aktor pendidikan. Namun, ada alternatif yang bisa kita coba, yaitu dengan menjadikan pendidikan sebagai sesuatu yang dekat dengan keseharian murid.

Edukasi dialogis

Murid haruslah dikenalkan dengan lingkungannya. Tak usah ditutup-tutupi kebobrokan di tempat ia tinggal. Misalnya ia tinggal di daerah persawahan, otomatis murid diajarkan bagaimana mengolah sawah agar padi tetap tumbuh subur tanpa menggunakan bahan-bahan kimia. 

Murid juga diajarkan agar tidak usah malu memiliki cita-cita sebagai petani, toh itu juga pekerjaan yang mulia dan dapat menghasilkan uang yang banyak jika pandai mengelola keuangan. Murid yang hidup di daerah pesisir harus diajarkan bagaimana caranya merawat laut dan biota di dalamnya. Tidak harus diajarkan dengan cara menghafal namun dengan diajak berpartisipasi langsung membersihkan pantai.

Dengan begitu diharapkan murid memiliki kecintaan terhadap lingkungan dan rakyatnya. Ketika murid sudah mempunyai keterikatan dengan lingkungan dan rakyatnya murid berusaha semaksimal mungkin untuk memberi solusi guna menyelesaikan masalah yang ada. Outputnya adalah murid memiliki kemampuan problem solving dengan berbasis fakta yang terjadi di masyarakat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline