Beberapa tahun terakhir ini kita banyak mendengar jargon tentang kota cerdas alias smart city. Banyak kota yang bermodalkan wifi gratisan di tempat-tempat umum berlomba-lomba mencanangkan program smart city. Apakah koneksi internet yang memadai itu sudah cukup untuk menyatakan diri sebagai smart city?
Selama sampah masih menggunung di tempat pengumpulan sampah, kabel berseliweran mengganggu mata memandang langit yang biru, orang lebih banyak naik kendaraan pribadi dibanding kendaraan umum (apalagi kalau masih ada angkot demo gara-gara kehadiran transportasi online), macet, dan seabrek permasalahan lainnya ya jangan ngaku cerdas. Benahi dulu hal-hal yang mendasar, baru kita bicara tentang layanan publik berbasis internet.
Saya tinggal di Magelang. Sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang sejuk dan nyaman. Berbicara tentang Magelang, perlu kita semua ketahui bahwa ada dua entitas administrasi di Magelang raya, yaitu Kota Magelang dan Kabupaten Magelang. Saya warga Kabupaten magelang, akan tetapi dalam hal ini saya ingin bicara tentang Kota Magelang. Rumah saya memang secara administrasi masuk di Kabupaten Magelang, tapi letaknya menempel di kota Magelang, dan sebagian besar aktivitas saya dilakukan di kota. Nuwun sewu, boleh lah ya saya bicara tentang kebijakan Kota Magelang.
Saya dengar Kota Magelang ini telah masuk salah satu kota yang mencanangkan smart city. Saya lihat di beberapa tempat sudah terpasang tiang-tiang yang menyangga kabel fiber optic, Magelang menuju pelayanan publik online. Apakah itu cukup untuk menjadi modal menjadi smart city? Tidak cukup pintar jika tidak dibarengi usaha untuk memperbaiki layanan yang fundamental seperti pengelolaan sampah, transportasi, dan lain-lain. Dari sekian banyak lain-lain itu saya ingin menyoroti masalah pengelolaan sampah dan transportasi umum.
Untungnya, sebagai kota dengan luas 18,12 km (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kota_Magelang), permasalahan yang dihadapi magelang tidak serumit permasalahan kota besar. Secara umum kota masih terlihat bersih dari sampah, tapi sampah masih menggunung di TPS yang masih dikelola secara konvensional. Macet belum banyak terlihat di jalanan. Namun demikian, jika populasi kendaraan tidak dikendalikan, bukan tidak mungkin Magelang akan terjebak macet karena banyaknya kendaraan pribadi. Jujur saya pribadi males banget rasanya naik angkot. Lambat! Ngetem! Nggak nyaman lah pokoknya.
Oke kita bicara soal sampah dulu. Mumpung Kepala Dinas Lingkungan Hidupnya mantan wali kelas saya di SMA dulu nih. Salim kepada Pak Machbub :)
Semoga nilai-nilai saya zaman SMA dulu tidak membuat beliau malas membaca ide-ide saya sekarang. Hihihi..
Walaupun nilai saya zaman SMA hancur tapi alhamdulillah saya bisa lulus SMA, bahkan bisa kuliah S2 di The University of Sydney lho Pak. Nah, pengalaman saya selama di Sydney itu yang membuat saya gatel pengen komentar tentang pengelolaan kota. Di Sydney, tidak terlihat ada tumpukan sampah di sudut-sudut kota. Tidak ada orang bingung harus buang limbah rumah tangganya di mana, karena semua sudah diatur dengan baik oleh pemerintahnya. Kenapa sih ada orang yang buang sampah sembarangan? Ya karena dia bingung harus buang di mana. Jadi tidak sepenuhnya dia yang salah, pemerintah daerah juga harus membangun sistem manajemen sampah yang baik agar masyarakata tidak bingung. Seperti apakah sistem manajemen sampah yang modern itu?
Magelang ini kan kota kecil. Masyarakatnya baik-baik pula. Gampang lah untuk atur manajemen sampahnya. Setiap rumah diharuskan menyediakan 2 buah tempat sampah besar yang beroda dan tertutup. Tempat sampah ini berbeda warna dan kegunaan, satu untuk sampah organik dan satunya untuk sampah non organik (yang bisa didaur ulang).
Tempat sampah baiknya disediakan oleh pemerintah kota supaya standar dan seragam. Masyarakat dapat membelinya di kelurahan. Bagi warga yang tidak mampu dapat diberikan subsidi atau cicilan jangka panjang agar tidak memberatkan. Buat jadwal pengambilan sampah yang berbeda bagi sampah organik dan non organik. Jadwal bisa menyesuaikan dengan kapasitas mobil sampah dan beban sampah yang harus ditanggung.
Misalnya untuk kelurahan A sampah organik diambil setiap hari B, sedangkan sampah non organik diambil setiap hari C. Pastikan semua warga kota paham akan hal ini. Pada hari yang ditentukan masyarakat harus membawa tempat sampahnya ke jalan yang dilewati oleh truk sampah di pagi hari. Sorenya harus dimasukkan lagi agar tidak mengganggu pemandangan.