Di era digital, data telah menjadi komoditas paling berharga, bahkan disebut sebagai "minyak baru" bagi ekonomi global. Dalam konteks ekonomi politik komunikasi, fenomena ini menggambarkan bagaimana data pribadi yang dihasilkan pengguna media sosial dikumpulkan, diolah, dan diperjualbelikan oleh perusahaan teknologi untuk mendapatkan keuntungan besar (Aji, Utari, & Sudarmo, 2022).
Proses ini yang dikenal sebagai komodifikasi, menciptakan dinamika kuasa yang timpang antara perusahaan teknologi, pengguna, dan negara. Artikel ini mengeksplorasi konsep komodifikasi dalam ekonomi politik komunikasi dengan mengkaji kasus perubahan kebijakan privasi aplikasi media sosial, seperti yang dilakukan Meta melalui Instagram dan Facebook, serta aplikasi baru mereka yakni Threads.
Komodifikasi dalam Ekonomi Politik Komunikasi
Ekonomi politik komunikasi melihat bagaimana struktur ekonomi dan kekuasaan memengaruhi distribusi informasi. Menurut perspektif teori ekonomi politik media, lembaga media merupakan bagian dari sistem ekonomi yang memiliki keterkaitan yang kuat dengan sistem politik (Anggraeni & Wuryanta, 2020). Dalam konteks media sosial, platform digital tidak hanya berfungsi sebagai ruang interaksi sosial, tetapi juga sebagai mesin pengumpulan data masif.
Data pengguna mulai dari preferensi, kebiasaan online, hingga lokasi, dikomodifikasi menjadi aset bernilai tinggi yang dijual kepada pengiklan atau mitra bisnis. Komodifikasi ini melibatkan dua sisi: pertama, eksploitasi pengguna sebagai "produsen data" gratis, dan kedua, pemanfaatan data tersebut untuk menciptakan iklan yang sangat tertarget.
Studi Kasus: Meta dan Kebijakan Privasi Threads
Meta, perusahaan induk Facebook, Instagram, dan Threads, telah menjadi simbol kuat dari komodifikasi data. Perubahan kebijakan privasi Threads yang kontroversial terutama di Uni Eropa menyoroti sejauh mana data pengguna diolah untuk mendukung strategi bisnis mereka. Threads, yang diluncurkan sebagai pesaing Twitter (kini X), memerlukan izin pengguna untuk mengakses data seperti aktivitas online lintas aplikasi, lokasi, dan bahkan aktivitas belanja.
Hal ini memicu kekhawatiran dari otoritas perlindungan data, terutama di negara-negara dengan regulasi ketat seperti Uni Eropa, yang memiliki General Data Protection Regulation (GDPR). Di sisi lain, negara-negara dengan regulasi longgar menjadi lahan subur bagi platform seperti Meta untuk memaksimalkan komodifikasi tanpa banyak hambatan (Aulia, 2023).
Dinamika Kuasa dan Ketimpangan
Komodifikasi data menciptakan ketimpangan struktural yang signifikan. Perusahaan media sosial memiliki kendali penuh atas data pengguna, sementara pengguna seringkali tidak menyadari sejauh mana data mereka dimanfaatkan, hal ini menciptakan asymmetric power relations antara korporasi dan individu.
Dalam ekonomi politik komunikasi, ketimpangan ini diperparah oleh kurangnya transparansi dalam kebijakan privasi serta minimnya opsi bagi pengguna untuk memilih layanan yang menghormati privasi mereka. Negara-negara berkembang sering menjadi target utama eksploitasi data, karena lemahnya regulasi dan literasi digital di kalangan masyarakat.
Respons Global: Menuju Keadilan Digital
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi dampak buruk komodifikasi data. Uni Eropa memimpin dengan GDPR, yang memberikan kontrol lebih besar kepada pengguna atas data mereka. India mengesahkan Digital Personal Data Protection Act, yang memberikan kerangka kerja hukum untuk melindungi data pribadi (Baker McKenzie, 2023).
Namun, tantangan besar tetap ada, terutama dalam memastikan kepatuhan perusahaan teknologi besar dan menjembatani kesenjangan antara negara maju dan berkembang dalam hal regulasi data.
Kesimpulan
Komodifikasi data pengguna di media sosial mencerminkan realitas baru dalam ekonomi politik komunikasi, di mana nilai ekonomi terletak pada eksploitasi informasi pribadi. Kasus kebijakan privasi Threads menunjukkan bagaimana perusahaan besar seperti Meta terus mendorong batas-batas pengumpulan data, bahkan di tengah pengawasan ketat.