Pada hari Kamis, 5 Agustus 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2021 dalam Berita Resmi Statistiknya.
Kepala BPS, Margo Yuwono dalam siaran persnya menyampaikan berita gembira bahwa ekonomi Indonesia akhirnya bertumbuh positif 7,07% setelah selama 4 kuartal tidak pernah mencapai angka positif. Tentu saja, sangat tidak masuk akal bagi masyarakat untuk mendengar berita pertumbuhan ekonomi ini dengan kondisi sedang dihantui kebijakan PPKM.
Apakah benar BPS 'berbohong' dalam publikasinya? Atau apakah masyarakat yang bersikap subjektif dalam menilai pertumbuhan ekonomi di Indonesia? Bagi saya pribadi, persoalan utamanya bukanlah siapa yang salah, melainkan apakah kita membahas permasalahan yang sama.
Sebagai mahasiswa statistik tingkat akhir, saya mencetuskan sebuah teori koplo bernama "Paradoks Ukuran". Teori koplo ini menjelaskan bahwa masalah utama dari pembahasan ukuran statistik adalah ketidaksepakatan antara para akademisi dengan orang awam mengenai batasan kasus.
Pada kasus pertumbuhan ekonomi yang jadi pengantar artikel ini, bagi masyarakat awam, pertumbuhan di angka 7% tidak masuk akal sebab ekonomi bangsa sedang terancam dampak negatif PPKM. Masalahnya, sebenarnya angka 7% itu sama sekali tidak berkaitan dengan PPKM yang diberlakukan terhitung tanggal 3 Juli 2021.
Angka 7% tadi merupakan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia secara YoY pada kuartal kedua 2021. Istilah YoY berarti angka tersebut diperoleh dengan membandingkan PDB periode ini dengan tahun sebelumnya, kemudian kata kuartal kedua berarti waktu yang dicakup adalah bulan April-Juni.
Dengan kata lain, angka tadi merupakan hasil perbandingan kondisi ekonomi periode April-Juni tahun ini dengan kondisi ekonomi periode April-Juni pada tahun sebelumnya.
Perlu diingat bahwa pada periode April-Juni 2020, kondisi ekonomi kita sedang dihantam ombak pertama covid-19 mengingat pada periode itu pertumbuhan YoY kita pertama kalinya terjun ke angka minus 5%.
Sehingga, dengan mempertimbangkan bahwa PPKM darurat baru dimulai pada tanggal 3 Juli 2021, rasanya sangat masuk akal jika ekonomi kita bertumbuh 7% pada periode tersebut.
Meskipun demikian, sangat wajar jika publik mengkritik berita statistik mengenai pertumbuhan ekonomi yang terkesan meroket di tengah kondisi PPKM, saat kondisi ekonomi masyarakat kecil sedang sekarat. Apalagi, beberapa orang menggunakan berita statistik ini sebagai perayaan yang terkesan menjadi glorifikasi tak berdasar.
Secara sederhana, angka ini mencerminkan pertumbuhan yang dapat kita capai selama setahun dibandingkan periode terkelam selama pandemi berlangsung. Meskipun angkanya cukup tinggi, bertumbuh 7% dari kondisi terburuk saya rasa bukanlah prestasi yang dapat dibanggakan. Bahkan meskipun itu tetap sebuah prestasi, akan lebih baik jika prestasi itu tidak dirayakan di tengah ancaman merosotnya ekonomi akibat kondisi PPKM yang berkepanjangan.