Lihat ke Halaman Asli

Alfito Rafif Amanda

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Dikeluarkanya PP Nomor 53 Tahun 2023 Perkuat Dugaan Nepotisme di Era Jokowi

Diperbarui: 24 November 2023   22:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara. Dokpri

Pada hari Jum'at 24 November 2023, Presiden Joko Widodo atau yang kerap disapa Jokowi mengeluarkan aturan baru yang mengizinkan para menteri, gubernur, hingga wali kota untuk maju di pemilihan presiden tahun 2024, tanpa harus mengundurkan diri dari jabatannya. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengunduran Diri Dalam Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Permintaan Izin Dalam Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, Serta Cuti Dalam Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum.

Pasal 18 Ayat 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023  menyebutkan bahwasannya "Pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, menteri dan pejabat setingkat menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota." 

Selanjutnya, Pasal 18 Ayat (1a) mengatur tentang menteri dan pejabat setingkat menteri yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebagai calon presiden atau calon wakil presiden sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari presiden.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka setiap pejabat negara baik itu menteri, gubernur dan wali kota tidak perlu lagi mengajukan pengunduran diri ketika dirinya diusung oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik dalam pemilihan presiden mendatang.Ketentuan tersebut tentunya berbeda dengan ketentuan yang berlaku dalam kontestasi politik pemilihan presiden 10 tahun kebelakang. Sebelumnya,Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2018 menyatakan secara eksplisit bahwasannya setiap pejabat negara yang mencalonkan diri dan diusung oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik dalam pemilihan presiden diharuskan untuk mengundurkan diri terlebih dahulu dari jabatannya tanpa terkecuali.

Perubahan regulasi tersebut tentunya mencerminkan adanya upaya eksploitasi terhadap konstruksi hukum di negara ini, di mana Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023 setelah para calon presiden dan wakil presiden mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Eksploitasi yang dilakukan oleh Presiden Jokowi terhadap konstruksi hukum belakangan ini justru menimbulkan suatu hipotesis di mana budaya nepotisme mulai berkembang pesat dan dianggap sebagai suatu hal yang lazim diera Presiden Jokowi.

Sebelum isu terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023 naik ke permukaan, masyarakat sempat dibuat heboh dengan disahkannya putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang dengan jelas merefleksikan terjadinya kongkalikong diantara para  elit politik yang bertujuan untuk menguntungkan salah satu pihak dalam pemilihan presiden mendatang. Jika ke dua hal tersebut dikorelasikan, maka masyarakat awam pun dapat mengetahui dengan mata telanjang, bahwa Presiden Jokowi dengan segala kedigdayaannya berusaha untuk memperkuat langkah politik dengan memanfaatkan segala instrumen guna memenangkan Gibran Rakabuming Raka yang turut berkontestasi di Pilpres 2024.

Berkaitan dengan hal tersebut, intrik politik yang dilakukan oleh Presiden Jokowi seolah olah menunjukan langkah integrasi tetapi dalam konotasi yang negatif. Di mana Presiden Jokowi dengan sewenang-wenang melakukan perubahan disetiap lini pemerintahan, tetapi citra yang dibangun di tengah-tengah masyarakat seolah olah tindakan tersebut merupakan urgensi untuk menciptakan tatanan demokrasi dan mekanisme pemilihan yang baik di tahun 2024 mendatang. Alih-alih ingin menciptakan integrasi dan suasana yang sejuk jelang pilpres, justru langkah Presiden Jokowi memperbesar kemungkinan terjadinya disintegrasi karena dugaan nepotisme.Apabila kemungkinan terjadinya disintegrasi semakin membesar, maka pemimpin yang terpilih dikemudian hari akan cukup sulit menahkodai dan membawa bangsa ini menuju era kemajuan, dikarenakan semakin menguatnya ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintahan sebagai subjek dan segala produk yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai objek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Seharusnya, rekonstruksi  aturan-aturan yang berkaitan dengan  pemilihan presiden mendatang dilakukan jauh sebelum para calon mendaftarkan diri secara resmi di Komisi Pemilihan Umum (KPU), sehingga pesta demokrasi yang diselenggarakan 5 tahun sekali ini dapat dijalankan dengan adil dan dilandaskan pada pertarungan ide maupun gagasan dari masing masing calon. Sebagai seorang Presiden yang mengemban tanggung jawab besar untuk mementingkan kepentingan rakyat dan bangsa, Presiden Jokowi tidak sepatutnya melakukan langkah yang demikian. Karena tindakan tersebut telah menciderai  masyarakat, konstitusi, negara bahkan para pemimpin bangsa terdahulu. Oleh karenanya, masyarakat dituntut untuk lebih peduli dengan situasi negara hari ini, agar budaya-budaya negatif seperti nepotisme tidak kembali merenggut kemerdekaan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline