Dia memilki paras dan wajah yang cantik melebihi diriku. Dia juga memiliki kulit yang putih, rambut yang ikal lebat, mata yang sendu, gigi yang rapi yang juga melebihi diriku. Dia juga anak yang pinter mungkin melebihi diriku juga. Dia adalah adik yang kusayang selalu.
Namun, rasa sayangku padanya tak dapat aku realisasikan dalam bentuk kedekatanku dalam menjalin hubungan kakak-adik selama kami tinggal dan dalam asuhan orang tua. Justru semenjak kecil kami seringkali bertengkar hanya karena persoalan sepele. Maklum, masih anak-anak. Menginjak Usia remaja, memasuki masa SMA, kami telah terpisah secara terpaksa. Kubilang terpaksa, karena sebelumnya keluarga orang tua kami masih tinggal bersama Bude dan anaknya di rumah kakek-nenek yang masih menjadi hak milik Bude dan paman. Konflik tentang warisan rumah itulah awal penderitaan kami dimulai. Rupanya rumah dan tanah itu telah dibagi ke sodara Bapak yang lain dan telah disertifikasi atas nama anak Bude. Sehingga, mau tidak mau kami sekeluarga harus keluar meninggalkan rumah itu.
Sebuah rumah mungil tidak jauh dari rumah awal yang kami tempati itulah dibangun. Rumah itu pun sebenarnya adalah dari warisan milik Emak yang beberapa lama tidak diminta. Masih beralaskan tanah, dan berpintu ala kadarnya serta jendela yang masih leluasa di lewati angin yang berhembus dari luar, akhirnya kami tempati juga. Meskipun barang-barang telah dipindahkan ke rumah baru itu, akan tetapi tanpa alasan yang jelas, adikku belum bersedia tinggal di rumah baru kami.Mungkin melihat kondisi rumah, dia tidak merasa nyaman untuk turut tinggal bersama kami.
Seusai lulus SMA, aku meneruskan sekolah hanya sampai D1. Selepas itu, aku mulai bekerja, mulai menjadi tukang ketik di sebuah rentalan komputer, tutor atau pengajar komputer, menjadi penjaga toko dan foto copy, hingga bergabung pada sebuah LSM di Kediri dan Surabaya. Sejak aku sekolah di SMA nyaris, aku tidak pernah tergantung lagi kepada orang tua secara financial. Bahkan dari sisa beasiswa yang aku peroleh, aku bisa menempuh pendidikan D1 dan membantu membiayai sekolah kedua adikku hingga lulus SMA.
Rupanya penghasilan kedua orang tuaku sebagai tukang jahit pakaian mulai menurun seiring dengan menurunnya kesehatan orang tuaku. Pendapatan yang aku peroleh selama ini lebih banyak aku berikan kepada orang tua untuk membantu menopang kebutuhan hidup keluarga. Cobaan demi cobaan telah menempa selama perjalanan hidupku. Akan tetapi aku begitu menikmati semuanya dengan enjoy.
Selepas SMA, adik perempuanku mendapatkan beasiswa untuk masuk perguruan tinggi negeri di Kota Malang. Selama proses ujian masuk hingga daftar ulang, aku mengantarkannya pulang pergi ke Kota Apel tersebut. Tak terasa, adikku sudah remaja. Bangga melihat dia berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah nantinya. Sayang, rupanya kepandaiannya di akademis tidak diimbangi dengan kepandaian dalam bersosialisasi atau bermasyarakat, atau berjejaring untuk mencari teman. Dia memiliki kepribadian yang kuper dan minder. Pemalu dan pendiam yang berlebihan, sehingga akibat dari sifatnya inilah Beasiswa pun gagal dia dapatkan. Hanya karena kurang mendapatkan informasi yang akurat, dia tidak dapat menikmati kuliahnya di Universitas yang dia impikan selama ini. Terlambat, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Seandainya masih ada waktu saat itu........!!!! Sudahlah. Sedih dan kecewa melihat kondisi dia. Sebagai seorang kakak, ingin sekali aku mengomeli dia habis-habisan. Mengapa dia sebodoh itu? Tetapi, emakku yang tahu karakter dia melarangku untuk memarahi dia.
Waktu berlalu dari tahun ke tahun. Rupanya dia lebih memilih tinggal bersama sodara sepupuku yang tinggal di Bekasi. Selama setahun itulah dia tinggal dan dikursuskan di sana. Aku tidak tahu sama sekali perkembangannya. Akhirnya aku coba membangun komunikasi dengannya via email. Dari sanalah aku ketahui, rupanya dia masih bermasalah dengan dirinya sendiri. Setahun berlalu, aku minta dia untuk pulang.
Sebegitu kuat karakter yang dia miliki sehingga ketika dia mulai menyesuaikan diri kembali untuk tinggal di rumah bersama saudaranya merasa kesulitan. Sifat tertutup, lebih suka menyendiri dan melamun di dalam kamar seringkali dia lakukan. Aku sarankan dia untuk ikut bergabung pada organisasi di kampung. Supaya dia bisa bergembira bersama teman-temannya yang lain. Akan tetapi dia seperti merasa menjadi manusia asing di tengah-tengah masyarakat kampungnya sendiri. Bahkan untuk keluar rumah pun dia enggan. Melihat kondisinya yang semakin memburuk, aku menjadi gelisah. Seringkali aku merasa bersalah karena tidak bisa membantunya untuk mengatasi masalah pribadinya. Entah persoalan apa yang dia sembunyikan selepas dari Bekasi? Dia sama sekali tidak mau bercerita.
Tahun terus saja berganti. Sifat terutupnya semakin menjadi. Aku semakin tidak bisa lagi bercengkerama dengannya, karena waktuku lebih banyak di Surabaya. Gejala Depresi itu mulai menyerangnya. Berbagai nasehat dari orang tua dan beberapa teman yang aku datangkan ke rumah, tak sanggup mengubah jalan pikirannya. Semakin lama, dia semakin tenggelam dengan dunia yang diciptakannya sendiri. Perkembangannya selanjutnya, tiba-tiba dia menjadi seorang yang brutal. Berbagai macam alat dapur dibantingnya. Oh Tuhan, apalagi ini? Perih dan pilu hatiku melihatnya seperti itu.
Berbagai pengobatan telah diupayakan. Mulai dari pengobatan medis, spiritual dan konsultasi psikologi kami lakukan. Bahkan menurut temanku yang merupakan lulusan psikologi telah memberikan kesimpulan, bahwa yang bisa menyembuhkan dia adalah dirinya sendiri. Buntu sudah semua.
Ingin aku memberikan semua yang dimintanya. Akan tetapi jika dia sendiri tak sanggup menopang dirinya sendiri, keluarga pun akan semakin terombang-ambing. Oh, adikku yang cantik nan rupawan. Tidak sesuatupun kekurang di dirimu yang lebih buruk dari diriku. Tapi mengapa tidak bisa kau syukuri dengan memanfaatkan semuanya yang engkau miliki? Adakah Allah menjadikan dirimu seperti ini memiliki maksud yang tersembunyi?