Lihat ke Halaman Asli

Alfira Najmi Ramadhani

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Berdamai dengan Inner Child: Sosok Kecil dalam Diri yang Terluka dan Berdampak pada Perkembangan Diri

Diperbarui: 29 Mei 2022   13:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

source: HerStory

Ketika kita dewasa apakah kalian pernah merasa ada tingkah laku yang terasa tidak asing dialami? Atau bahkan ada trauma yang tidak kita sadari sebabnya apa? Jangan-jangan itu adalah inner child yang ada di dalam diri kita, sebuah bagian diri yang mungkin saja kita piker sudah tertinggal jauh di masa lalu padahal sebenarnya bagian itu akan selalu ada dalam diri kita dan mungkin tanpa kita sadari dapat mempengaruhi bagaimana kita membuat keputusan dan berhadapan dengan masalah dewasa kelak.

Inner child, atau yang dalam bahasa Indonesia berarti anak kecil yang berada di dalam, adalah sosok kecil dari diri kita yang masih melekat pada diri kita bahkan setelah kita dewasa. Inner child terbentuk dari pengalaman yang kita alami pada masa kecil. Saat usia kita menginjak 6-7 tahun, memori otak kita sedang berkembang sangat pesat yakni gelombang otak yang memiliki kekuatan 4-7 theta sehingga pada saat itu kita dapat mengingat dan merespon suatu hal dengan sangat cepat. Hal ini yang membuat daya ingat kita pada saat usia itu sangatlah melekat.

Inner child ini bisa muncul dari pola asuh yang dilakukan oleh orang tua dan keluarga. Bagaimana orang tua saat berbicara, tutur kata yang diucapkan ketika berbicara, debat-debat kecil yang kerap terjadi diantara orang tua dan anak. Ketika kita mengalami suatu pengabaian, kurangnya kasih sayang, kontrol, perlindungan dan pengasuhan dalam keluarga yang disfungsional. Hal-hal ini yang bisa berdampak sehingga membuat kita tidak bisa menerima kejadian yang terjadi pada saat ini. Inner child juga bisa terbentuk dari pengalaman masa kecil yang amat sangat kita ingat sehingga dapat berdampak pada tumbuh kembang kita di masa depan.

Ketika seseorang yang semasa kecilnya mendapatkan dukungan, apresiasi, dan dicintai, maka ketika ia tumbuh dewasa, ia akan lebih merasa aman. Sebaliknya, ketika seseorang yang semasa kecilnya tidak mendapatkan apresiasi, selalu dimarahi, dan dihukum, maka ketika ia tumbuh dewasa, ia akan selalu mencari cara untuk diapresiasi dan akan menjadi sosok yang takut sekali berbuat salah.

Tidak banyak orang yang sadar akan inner child yang mereka miliki. Hal ini membuat kita tidak menyadari ada luka batin yang tersembunyi di masa kecil yang terbentuk sampai dewasa dan menjadi sebuah dendam yang tidak pernah tersampaikan. Memahami inner child itu sangat penting agar kita tidak menjadi orang yang lebih mudah sensitif dan tidak mudah menjadi orang yang rapuh. Bagi mereka yang memiliki trauma bahkan mengalami kekerasan saat kecil, hal ini secara tidak disadari akan menjadi sesuatu yang tidak nyaman dan berpengaruh saat mereka tumbuh dewasa.

Lalu bagaimanakah cara kita untuk menyikapi inner child yang kita miliki?

Hal pertama yaitu kita harus menyadari kalau setiap orang pasti memiliki inner child, baik yang mereka sadari maupun belum disadari. Kita perlu berkomunikasi dengan inner child sendiri, bisa dengan berpikir dengan tenang apa yang kira-kira kita inginkan dari masa kecil kita dulu. Dari sinilah kita bisa memunculkan self love, self acceptance terhadap hal baik maupun hal buruk yang pernah terjadi dulu.

Kita juga bisa menggunakan metode meditasi dengan mendengarkan musik relaksasi sambil menggunakan teknik pernafasan 4-7-8. Tarik nafas melalui hidung dengan kondisi mulut tertutup sebanyak 4 hitungan, lalu tahan sebanyak 7 hitungan, lalu hembuskan melalui mulut sebanyak 8 hitungan. Lakukan ini dengan memejamkan mata agar lebih fokus. Bayangkan diri kamu di dalam tubuh itu keluar pelan-pelan, lalu hadirkan sosok kecil kamu yang sedang memerhatikan kamu sekarang kemudian coba peluk diri kita. Kita bisa membayangkan momen-momen masa kecil yang cukup membahagiakan sampai akhirnya kita bisa menghadirkan emosi masa kecil yang belum pernah tersampaikan, lalu berdamailah.

Sebenarnya kita tidak ada yang perlu kita benarkan dan selesaiikan dengan sosok kecil tersebut, hal yang memang kita perlu lakukan adalah menerima, karena dengan menerima kita bisa lebih mudah untuk memaafkan. Menerima dalam arti kita mengizinkan diri kita untuk marah, menangis, sedih, dan sebagainya. Kita juga harus memahami apa yang diri kita butuhkan, contohnya ketika kita sering merasa insecure ketika bertemu orang baru yang kurang ramah sehingga kita merasa tidak diterima. Inner child ini bisa membantu kita mengingat tentang sesuatu yang belum terselesaikan dan kebutuhan untuk berproses. Jika merasa kesulitan dalam menghadapi inner child, kita dapat meminta bantuan pada ahli profesional seperti psikolog untuk membantu menyembuhkannya.

Jika kita tidak terbiasa mengekspresikan perasaan, bayangkan itu akan menjadi sebuah gunung es yang tertumpuk selama kurun waktu yang sangat lama. Perasaan yang selalu kita tekan, buru-buru dihilangkan, bahkan kita sangkal kehadirannya. Hal ini kerap kali terjadi dari lingkungan sekitar kita. Contohnya seperti terlalu sering mengucapkan kata "gapapa kok", "anak laki-laki ngga boleh nangis ya", "jangan sedih." Hal ini lah yang membuat koneksi kita akan diri sendiri terputus karena kita tidak mengizinkan diri untuk merasakan emosi yang seharusnya kita rasakan.

Setiap orang memiliki inner child dengan kapasitas luka dan proses penyembuhan masing-masing, it's okay to not be okay. Sadari dan rangkul inner child kita. Jika kita tidak menyembuhkan trauma masa kecil, ini akan berlanjut bahkan mempengaruhi pola asuh kita terhadap anak-anak kita kelak. Maka dari itu, penting bagi kita untuk menerima, memaafkan, dan mencintai inner child dalam diri kita bagaimanapun keadaannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline