Lihat ke Halaman Asli

Sang Pengawal Lumbung Pangan

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

141142689018654531

Prof. Dr. Tualar Simarmata, Ir. MS
Penemu Teknologi Intensifikasi Pertanian Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO)

[caption id="attachment_343875" align="aligncenter" width="517" caption="Prof.Dr.Tualar Simarmata menunjukan benih unggul Super Genjah (gemuk) menggunakan teknologi IPAT-BO"][/caption]

Peluang Indonesia berdaulat pangan masih sangat besar. Bahkan bisa menjadi lumbung pangan dunia. Itulah keyakinan Prof. Tualar Simarmata, sang Tokoh Inovator Pangan dalam 106 Inovasi Indonesia Paling Prospektif 2014. Bukan mimpi. Karena keyakinan itu telah ia terapkan di lapangan nyata hampir di seluruh provinsi Indonesia melalui penemuannya dalam teknologi Intensifikasi Pertanian Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO). Perlu penerapan secara massal-nasional.

Indonesia berdaulat pangan bahkan sebagai lumbung pangan dunia, hanya dibelit oleh sebuah persoalan mendasar. "Yaitu, hanya mau atau tidak. Kalau mampu dan tidaknya, saya jawab, Indonesia sangat mampu," ujar Prof. Tualar Simarmata, mengawali perbincangan dengan saya, Kamis sore, 28 Agustus 2014, di Hotel Sultan, Jakarta.

Saat itu Prof. Tualar baru saja tiba ke Jakarta dari Bandara Iskandar, Pangkalan Bun, ibu kota Kab Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Keyakinannya tersebut kian menebal ketika berada kota kelapa sawit itu. Pakar biokteknologi tanah ini menerapkan uji coba memanfaatkan kebun sawit untuk swasembada daging.

Per hektare (ha) area kebun sawit di-tumpang sari-kan dengan ternak sapi. Makanan sapi berasal dari rumput-rumput yang ada di situ. Sementara kebun sawitnya subur karena menggunakan kompos dari kotoran sapi.

"Per haktare cocok untuk dua ekor dengan pertimbangan rantai makanan yang ada di area itu. Kalau di Indonesia luas kebun sawit melebihi 13 juta ha, artinya ada puluhan juta sapi yang bisa diternak. Tinggal kita mau atau tidak. Saya optimis Indonesia bisa," papar doktor ilmu biologi tanah dan lingkungan Universitas Justus Liebig, Jerman, dengan Indeks Prestasi (IP) 4.0 ini.

Optimisme mendasar Prof. Tualar bertumpu dari tiga sumber yang ia amati mendalam. Sumber pertama dari fenomena alam tropis Indonesia yang sangat kaya sebagai keunggulan komparatif. Antara lain sinar matahari sebagai sumber energi untuk tanaman. Istilah yang ia gunakan adalah sebagai "pabrik" atau "mesin biologis (fotosintesis)" yang luar biasa melimpah; 12 jam per hari. Sayangnya, pada musim kemarau, sinar matahari disia-siakan.

Belum lagi ketersediaan air, yang melimpah. Sayangnya, itu juga disia-siakan pada musim hujan. Belum lagi ketersediaan lahan yang masih terhampar luas. Jika merujuk data Badan Pengembangan dan Penelitian Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSLP) 2008, lahan yang sesuai perluasan areal tanam pangan (ektensifikasi) masih tersedia sekitar 16,77 juta ha dari total luas daratan sekitar 188,8 juta ha. Terdiri dari sekitar 3,51 juta ha ekosistem lahan rawa dan 13,26 juta ha ekosistem lahan kering. Lahan-lahan potensial untuk tanaman pangan, umumnya tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Papua.

Sumber kedua, dari studi literatur yang ia gali. Master ilmu Tanah Universitas Padjajaran (Unpad) dengan IP 3.9 ini mengamatinya dari sudut pandang pangan beras. Padi, kata Prof.Tualar, bukanlah tanaman air tapi bisa hidup di air. Ini sangat berkaitan dengan penghematan penggunaan lahan dan air.

Sumber ketiga, dari kearifan lokal Indonesia. Terutama dari sisi pontensi lokal yang melimpah dalam menopang kekuatan biologis tanah. Seperti pemanfaatan aneka limbah hayati dan input lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline