Lihat ke Halaman Asli

Hamba Hukum Sang Pengawal Keadilan

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14132677011308582106

Achmad Rifai

Praktisi Hukum (Pengacara)

Reformasi hukum jalan di tempat akibat pejabat penyelenggara negara belum menjadi hamba hukum. Maka nyaris tidak ada keteladanan yang dapat ditiru dalam membentuk budaya hukum masyarakat. Achmad Rifai, kerap menjadi pengacara pada kasus kejahatan kerah putih, karena teruji memerankan diri sebagai hamba hukum itu. Ia menjadikan hukum sebagai hasrat tertinggi dan membedakan antara balas dendam dengan keadilan. Dengan itulah keseimbangan dalam keadilan tercipta.

[caption id="attachment_347713" align="aligncenter" width="378" caption="kapanlagi.com"][/caption]


PENGALAMAN pahit masa kecil telah menempa dirinya makin memahami arti keseimbangan sebagai out put mendasar dari keadilan. Sekaligus menjadi "Themis" dirinya dalam memegang prinsip dari simbol dewi keadilan itu di setiap tugasnya sebagai hamba hukum.
Hamba hukum adalah manusia yang taat hukum. Terutama aparatnya. "Seorang hamba hukum, mesti mampu menjadikan hukum sebagai hasrat tertinggi dan bisa membedakan antara balas dendam dengan keadilan," cetus Achmad Rifai, pria kelahiran Jombang itu.

Di berbagai negara yang tingkat disiplin hukumnya tinggi, tidak sepenuhnya ditopang oleh kinerja baik penegak hukum. Tapi kesadaran hukum masyarakatnya; cermin dari kesadaran hukum pemimpinnya.

Ada banyak contohnya. Malu karena peristiwa mati lampu, September 2011, Menteri Ekonomi Korsel, Choi Joong-Kyung, mengundurkan diri. Barangkali itu pengganti harakiri. Listrik mati bukan peristiwa biasa di Korea. Di kita, sekaliber kejahatan korupsi, pejabatnya ketawa-ketiwi di media massa.

Pesan dari sikap kesatria itu: betapa keteladanan mesti nyata. Karena problem negeri selalu dikunci oleh persoalan kepemimpinan. Budaya hukum masyarakat berbasis dari situ. Tanpa itu, kita selalu terperosok di lubang yang sama. Itulah etalase pembaharuan hukum tanah air pasca 1998: jalan di tempat.

Memang pada praktiknya, sulit sekali menarik garis demarkasi antara keadilan dan balas dendam itu. Kecuali bisa ditempuh, menurut Nurcholish Madjid (Cak Nur), senior Achmad Rifai di Jombang dan di PB.HMI, oleh mereka yang mempertaruhkan keadilan sebagai sesuatu yang seimbang: objektif. Sebab, kesimbangan dalam keadilan selalu memiliki tingkat kepentingan yang lebih besar. Kesimbangan itulah menjadi rumusan para pendiri republik membingkai negara hukum ini berupa keadilan sosial; lebih luas dibanding keadilan hukum, politik, ekonomi.

Menjangkau keadilan sosial itu, menurut Cak Nur, pasti menemui jalan terjal sebagaimana lansiran kitab suci dalam surah al-Balad (negeri) ayat 11-16. Jalan itu disebut al-'aqobah atau jalan mendaki yang sukar. Yaitu, usaha melepas belenggu perbudakan dan menyantuni kaum miskin di masa panceklik.

Karena sukar, banyak orang enggan. Butuh nyali tinggi, juga pengorbanan besar; jiwa maupun harta.  Achmad Rifai, setia mendaki jalan itu. Kurang lebih, terjemahan kontemporernya: jalan advokasi hukum terutama 'jihad' membongkar kejahatan kerah putih serta mengaliri filantropi (derma) di tengah krisis ekonomi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline