Pernah bertemu tetangga agak jauh saat antar kontrol ibu ke rumah sakit, disitu ada percakapan dan akhirnya menanyakan profesi saya sekarang kerja dimana. Saya pun menjawab bahwa saya 10 tahun terakhir kerja sebagai Penyiar Radio.
Kemudian tanggapannya kurang mengenakan, seperti dapat saweran berapa dari pendengar radio, karena dikira saya siaran sebatas karaokean dan dapat saweran banyak. Sehingga kesuksesan saya sekarang dianggap dapat uang banyak dari saweran tersebut.
Pernah juga saat saya semir rambut ke salon, pegawai salonnya basa-basi bertanya kerja apa. Saya pun menjawab sebagai penyiar radio.
Lantas tanggapannya pun juga sama, ia mengungkapkan ketidaknyamanannya memandang penyiar itu adalah orang yang gampangan alias wanita panggilan semacamnya.
Ya saya pun mengelus dada dan istighfar. Karena tipikal orang-orang yang demikian, biasanya sangat sulit untuk membedakan, meskipun sudah dijelaskan secara berulang.
Hal tersebut disebabkan ada kesalahpahaman dari masyarakat yang tidak dapat membedakan mana radio legal (resmi/berizin) dengan radio ilegal (tidak resmi/tidak berizin).
Biasanya kalau radio ilegal konteks acaranya tidak jelas, kemudian penyiarnya seadanya alias tidak profesional, dan kemanfaatan siarannya pun dipertanyakan.
Sebaliknya jika radio legal konteks acaranya jelas, sumber daya manusianya berkualitas, dokumen perizinan lengkap termasuk dipantau dan mengikuti P3SPS dari KPI.
Kebetulan lokasi saya di Jawa Timur, berarti masuk wilayah KPID Jatim (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Timur).
P3SPS singkatan dari Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS).