Sepasang kaki mungil itu berjalan cepat, sedikit berlari, hampir menabrak pedagang Bakso Malang di pinggiran jalan. Seorang perempuan menuntunnya sembari meminta maaf pada si pedagang tersebut, "Maaf, tak sengaja" kata perempuan ini. Digenggamnya tangan si kecil, sesekali perempuan tadi memberitahunya agar berhati-hati.
"Hantam koruptor! Bunuh tikus-tikus perusak negeri ini! Hukum mati pelaku korupsi!"
Suara tadi tak dinyana menarik perhatian si kecil tadi, lalu percakapan bunda-anak pun dimulai.
"Koruptor itu, orang yang mengambil sesuatu yang bukan haknya untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya, perilaku yang tidak semestinya kita tiru, ya."
"Koruptor itu nakal ya, bu?"
"Iya, dia jahat karena berlaku korupsi."
"Kenapa koruptor gak dihukum ayahnya? Adik aja kalau abis main gak beresin mainan, adik dihukum ayah."
"Koruptor dihukum sama KPK, biar gak korupsi lagi, gak menjahati orang-orang lagi."
"KPK itu ayahnya?"
"Bukan, KPK itu semacam Polisi, yang memberantas kejahatan korupsi, siapapun itu yang korupsi nanti dihukum sama KPK."
"Hebat, bu. Kalau besar nanti adik pengen jadi KPK, biar adik bisa menangkap korupsi, boleh kan bu?"
"Menangkap koruptor maksud adik? Tentu saja boleh. Tapi sebelum jadi KPK, adik harus membiasakan diri agar gak korupsi, berkata dan bertindak jujur, gak ngambil barang orang yang bukan haknya, kalau udah sekolah nanti gak nyontek, bisa kan?"
"Adik mau, bu."
Lalu mereka berhenti di tempat penjual cilok, jajanan kesukaan si kecil. Si penjual seringkali menambahkan jumlah ciloknya, karena setiap Minggu memang mereka selalu membeli ciloknya. Meski si ibu selalu menolak dikasih cilok lebih, khawatir untung penjualnya berkurang karena bonus buat anaknya.
Perjalanan berlanjut ke mobil box yang menjual pakaian. Transaksi terjadi, ada sedikit kejengkelan si ibu saat itu.
"Loh mas, kok kembaliannya cuma 48 ribu?"
"Maaf bu, memang segitu, itu lima puluh harga minggu kemarin."
"Harusnya dicantumin dong mas kalau harga berubah, biar orang gak salah kira, di tulisannya lima puluh tapi sebenernya lima dua."
"Cuma dua ribu doang lah bu, itung-itung buat untung saya, gak usah dijadiin masalah."
"Gak bisa gitu lah mas, ini menipu pembeli namanya."
Si kecil tertarik untuk menyahut, "Ibu, gak usah berantem, kata Ayah kan berantem gak baik. Nanti kalau adik jadi KPK, orang yang gak jujur biar adik tangkap."
Mereka berlalu, meninggalkan mobil box dan kekesalan sang Bunda kepada penjual yang tak jujur tadi. Keduanya terhenti di sebuah lapak perkakas rumah tangga, destinasi mereka selanjutnya. Tawar menawar harga dan deal, si ibu mendapatkan sepaket alat dapur dan penjual mendapatkan uang penebusnya. Di tempat yang sama ada transaksi penjual dengan pembeli lain, ternyata percakapannya masih didengar si kecil.
"Sepuluh ribu, yak?"
"Gak bisa, bu. Udah pas dua puluh, gak bisa kurang."
"Ah, si ibu tadi teh sama anaknya bisa dapat mabelas, saya kan gak pake yang ini, bisa lah sepuluh aja."
"Gak bisa bu, saya gak dapet untung kalo cuma sepuluh, tadi aja udah saya relain untung saya buat ibu sama anaknya yang buta itu."
Bukan pertama kalinya si kecil mendengar hal itu, sang bunda segera mengajaknya pulang dari Pasar Kaget.
"Maka, di tanggal 9 Desember ini, kami semua mengajak masyarakat sekitar IT Telkom untuk memperingati hari AntiKorupsi seDunia. Kita berantas penyakit ini dari Indonesia, untuk selamatkan masa depan bangsa ini, Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!"
Orasi dan lagu "Padamu Negeri" itu didengar keramaian pagi itu termasuk si kecil, ia pun ikut menyanyikan lagu itu meski dengan pelafalan dan nada yang lucu. Ibunya rupanya tahu si kecil sedang asyik memperhatikan suara sekumpulan mahasiswa beralma-mater biru muda ini, ia memperlambat lalu menghentikan langkahnya.
"Adik beneran mau jadi KPK?", sang bunda memandang sambil membelai rambut si kecil dengan lembutnya.
"Iya, adik gak mau ada orang yang gak jujur, kasian ibu kan kalau beli ke orang gak jujur", tuturnya bersemangat semantap orator yang berada tak jauh darinya.
"Ibu bangga sama adik, nanti adik bersekolah dengan jujur, biar dapet ilmu, biar bisa jadi KPK, yah?"
"Iya, bu. Tapi, aku kan gak bisa melihat, apa bisa jadi KPK?"
"Adik, kalau orang yang mampu melihat justru menggunakan penglihatannya untuk mengambil hak orang, kalau matanya digunakan untuk menarik keuntungan pribadi, kalau inderanya dimanfaatkan untuk kecurangan, lebih baik orang tidak dikasih mata untuk melihat tapi masih diberi hati untuk memilih yang benar dan juga pikiran untuk menentukan yang baik."
"Koruptor itu ada yang kaya aku gak ya, bu? Kalau dengan gak bisa melihat, orang jadi gak korupsi, kenapa gak semua orang jadi buta aja ya, bu?"
"Adik, gak boleh bilang gitu. Mungkin benar, karena punya mata kita justru mampu melihat kesempatan untuk berbuat jahat. Maka dari itu, kita harus punya mata hati, jadi tetap bisa melihat yang baik dan benar. Apa adik marah sama Tuhan karena gak dikasih kemampuan untuk melihat?"
"Gak marah bu, adik mau terima kasih ke Tuhan, karena adik dikasih mata hati, dikasih ibu dan ayah yang baik juga sayang sama adik, adik gak berkekurangan apa-apa."
"Pinter anak ibu. Yukk, kita pulang, abis ini adik mandi ya, jadi KPK tuh gak boleh bau', nanti kasian koruptornya."
[bersambung]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H