Lihat ke Halaman Asli

Mengeja Angin

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14194780302085907413

Dingin, tenang, memberi kekuatan, orang menggambarkanku demikian. Ada kalanya aku menyejukbijakkan, pelan menenangkan, sesekali melenakan. Ada saatnya aku menjadi dahsyat, membawa pesan tertentu lalu lenyap dengan cepat. Begitulah mereka mengenalku dalam beragam peristiwa, meski mereka tak pernah benar-benar menyaksikan rupa. Seperti sifat yang Sang Pencipta berikan buatku, tak kasat mata tetapi hadirnya senantiasa bisa dirasa. Dan kali ini, akan aku ajak engkau lebih mengenalku.


[caption id="attachment_343282" align="alignnone" width="564" caption="Sumber Inspirasi Gambar : https://mandhut.files.wordpress.com/2014/12/pendekar_tongkat_emas-20140429-002-rita.jpg"][/caption]

Aku dilahirkan di tempat nun jauh, dengan padang rumput sekelilingnya, sungai bersih nan jernih sepanjangnya, beserta rimba yang asri luar biasa. Tempat terbaik bagi seorang penyendiri untuk hidup tenang tanpa hingar bingar keriuhan. Aku hidup bersama pertempuran, sembuh bersama luka-luka, dan tumbuh bersama suka-duka. Aku besar di tempat kecil yang orang sebut Perguruan Tongkat Emas, menimba ilmu dengan mahaguru Cempaka. Selainku, ada dua kakak seperguruan yang bergabung di tempat ini sedari dulu. Seorang penuh semangat dan berilmu bernama Biru dan perempuan misterius lagi jelita bernama Gerhana, aku sangat mengagumi mereka. Bersama, kami tinggal dan berlatih untuk menjadi pendekar terbaik di dataran ini. Namaku Angin Lembah, dan berikut adalah kisahku.

Ohya, aku juga akan mengenalkanmu dengan perempuan paling mengagumkan yang pernah aku temui, kakakku. Tentu saja sebab aku tak lagi mampu mengingat rupa dan masa-masa bersama ibuku di saat lalu. Kekaguman itu kuterjemahkan dengan keinginanku untuk selalu membersamai dan melindunginya. Aku memang lebih kecil dan lebih muda, tetapi aku t’lah berjanji untuk menjaga Dara semampu yang aku bisa. Ya, Dara namanya. Kami selalu bersama dan tidak akan pernah terpisahkan.

Malam itu nampak tiada beda dengan malam-malam lainnya, kecuali ketika mahaguru Cempaka mengumpulkan kami berempat untuk sebuah perihal. Tongkat Emas sebagai simbol perguruan sekaligus identitas pendekar terpilih, akan diwariskan kepada salah satu dari kami. Ini sekedar upacara pentahbisan bagi Biru, murid mahaguru Cempaka yang paling siap dan paling kuat. Tentu saja aku sadar diri, musykil bagiku – atau bahkan Dara untuk mewarisi tongkat sakti berikut jurus saktinya. Punya kesempatan berlatih dan menempa diri di tempat ini, sudah menjadi keberuntungan tersendiri. Sampai kabar mengejutkan itu diucapkan sendiri oleh sang mahaguru.

“Tongkat ini aku berikan kepada Dara.”


Entah bagaimana kalimat pastinya, yang pasti itulah kalimat yang sanggup aku cerna. Harus aku jelaskan lebih dulu, Sang Pencipta memberiku kecerdasan dan kelincahan tubuh. Namun, aku tak begitu pandai dalam berkata-kata atau menyimak manusia lain berbicara. Tulisan ialah satu-satunya jalan mengungkapkan apa isi hati dan kepalaku, agar orang mengerti. Dan malam itu, jujur aku tak mampu menjelaskan ketidakkeruan perasaanku. Yang jelas pertemuan malam itu ditutup dengan kabar bahwa esok mahaguru Cempaka akan pergi bersama Dara dalam beberapa masa. Dan aku, diminta turut serta merawat kondisi mahaguru Cempaka yang semakin tidak sehat dari sebelumnya. Entahlah, angin malam ini terasa lebih dingin dan menusuk dibandingkan malam-malam lainnya.

Bersama dingin, aku ingin, berkelana laiknya sebenar-benarnya angin ...


***

[caption id="attachment_343315" align="alignnone" width="640" caption="Angin Lembah"]

1419483357863356078

[/caption]

Esok harinya kami bertiga berangkat, aku harusnya bersemangat sebab akan melihat secara langsung mahaguru Cempaka menurunkan jurus Melingkar Bumi kepada Dara. Namun, keadaan beliau lebih buruk dari semalam. Dan yang paling buruk ialah, ketika kami diiringi pelepasan khusus dari Biru dan Gerhana. Mereka rupanya belum rela bila kami meninggalkan perguruan tanpa adanya upacara perpisahan, awalnya aku berpikir demikian. Aku menyadari kepolosanku manakala keduanya tega melukai mahaguru Cempaka.

Ini merupakan bagian tersulit ‘tuk dikisahkan. Aku masih ingat pertarungan Biru dan Gerhana melawan kami bertiga, sama sekali tidak seimbang. Apabila laga diteruskan, hasilnya bisa dipastikan bahwa kami bertiga akan menemui kekalahan. Sampai ketika mahaguru Cempaka memutuskan mengorbankan dirinya, demi menyelamatkan aku dan Dara. Tapi ini memang pilihan sulit, ketika pilihan-pilihan yang tersedia tak satupun seperti yang ku minta. Dara sebetulnya bersikeras ingin ambil bagian di pertarungan dan menyelamatkan mahaguru Cempaka, tetapi aku memaksanya agar mematuhi perintah sang guru. Aku bersyukur tidak melihat akhir pertarungan tadi, pedih rasanya melihat mahaguru tewas di tangan kakak seperguruan yang aku kagumi. Kali ini aku harus kuat, atau setidaknya harus terlihat kuat, demi Dara.

Nyaris saja Tongkat Emas berhasil mereka rebut, kami terjatuh dan selanjutnya entah bagaimana yang aku ingat kami sudah terbangun dalam sebuah gubuk. Aku mendapati seseorang menolong kami, sosok penuh misteri dengan tatapan tajam bagai elang. Entah bagaimana, instingku berkata orang ini baik dan aku percaya dengannya. Dara siuman, dan kami memutuskan tinggal di perkampungan ini beberapa waktu sembari memulihkan diri sebelum melanjutkan pencarian kami akan Pendekar Naga Putih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline