Di awal tahun 2014 melalui Fanpage Facebook Pendekar Tongkat Emas (The Golden Cane Warrior), saya mulai berlangganan informasi terkini tentang film Pendekar Tongkat Emas (PTE) ini. Alasan pertama mengapa saya tertarik dengannya, sebab film ini disutradarai oleh Ifa Ifansyah yang kita tahu meroket namanya setelah mensutradarai Garuda Di Dadaku. Kedua, deretan pemainnya aduhai punya : Reza Rahadian, Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Prisia Nasution, Darius Sinathrya, plus dua aktris jelita Tara Basro dan Eva Celia. Ketiga, genre film laga saat ini antimainstream bila dibandingkan genre romantis, horor, atau petualangan anak-anak. Maka bisa dibilang cuma orang-orang nekat yang berani membuat film ini (dan yang nekat itu biasanya keren). Poin pentingnya, karena Mira Lesmana dan Riri Riza menjadi duet produser untuk film ini. Alasan terakhir itulah yang membuat saya yakin 100%, “gue wajib nonton film ini!” [caption id="attachment_343314" align="alignnone" width="672" caption="Line Up Cast"][/caption] Riset kecil-kecilan sebelum memutuskan untuk menonton adalah hal wajib bagi saya. Kali ini tidak begitu sulit sebab laman fanpage begitu sering menyajikan kabar terbaru dari film ini (thanks to PTE Marketing Team dan mimin fanpage PTE, you guys so cool so I keep up to date hhehe). Dari sinilah saya mengikuti perkembangan film seperti lokasi syuting di Sumba yang begitu eksotis (update foto di laman Facebooknya PTE mantap punya, saya makin kepengen ke Sumba tahun depan), Xin Xin yang didatangkan khusus untuk melatih kemampuan berkelahi para aktor dan aktrisnya, Anggun yang menyanyikan soundtrack resmi, Erwin Gutawa yang didapuk mengisi scoring untuk backsound, kuartet MirLes-Riri-Eddie Cahyono-Ifa Isfansyah yang meramu jalannya cerita, Chitra Subiakto sebagai perancang kostum semua pemain, sampai anggaran yang konon menghabiskan 25 Miliar rupiah! Gila deh, cuma orang nekat yang mempertaruhkan fakta-fakta di atas untuk sebuah film yang temanya kurang populer (untuk generasi 90an seperti saya ya). Dan buat saya, formasi ini terlalu ideal kalau dibuat sekedar untuk memenangkan FFI. This movie should be inspiring people, and more importantly be a milestone for a better Indonesian movies. [caption id="attachment_343290" align="alignnone" width="519" caption="Yeay!"]
[/caption] Kamis 18 Desember 2014 akhirnya datang juga, saya sempat cemas kalau film ini booming maka seatnya bakal penuh saat pemutaran perdananya. Namun, saya justru terkejut manakala mendapati hanya 2 kursi terisi sebelum saya membeli tiket pada jam pemutaran 20.30. Yap, total penonton adalah tiga karena saya nonton seorang diri. Faktor Bandung yang kala itu sedang rajin diguyur hujan dari sore hingga malam, dan bioskop yang masih baru jadi analisis saya bahwa banyak yang memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di Bioskop. Apalagi di pekan tersebut, sebagian besar yang ke bioskop masih lebih memilih Stand By Me Doraemon atau sekuel The Hobbit sebagai tontonannya. *** [caption id="attachment_343291" align="alignnone" width="630" caption="Cempaka"]
[/caption] Kisah bermula dari kegalauan Cempaka yang diperankan Christine Hakim, seorang pendekar termasyhur pemegang Tongkat Emas yang sudah memasuki usia senja. Seusai Cempaka mengumumkan salah satu murid sebagai suksesornya, konflik di perguruan dimulai. Biru geram, Gerhana murka, Dara tak percaya, Angin membisu. Patutlah semuanya terperanjat, selama ini Biru sedemikian jelas diprediksi bakal menjadi Pendekar Tongkat Emas berikutnya. Secara usia dia yang paling tua, paling ahli memainkan tongkat, paling handal berkelahi, rasanya semua syarat menjadi pewaris Tongkat Emas telah ia miliki. Kalaupun bukan Biru, Gerhana-lah yang harusnya mendapatkannya, bukan Dara atau Angin. Cempaka baru saja menyemai bibit perpecahan dalam dua kubu murid yang dibesarkannya. [caption id="attachment_343292" align="alignnone" width="600" caption="Dara, sang pendekar terpilih"]
[/caption] Adegan perkelahian Biru (Reza Rahardian) dan Gerhana (Tara Basro), melawan Cempaka, Dara (Eva Celia), dan Angin (Aria Kusumah) mulai menyedot perhatian saya setelah di awal pace film-nya lambat. Pertarungan dengan tongkat memang menjadi kewajiban di film ini, tetapi saya belum melihat keistimewaan Tongkat Emas di laga terakhir guru Cempaka. Ekspektasi saya, meski tanpa jurus pamungkas pun tongkat sakti ini memiliki kelebihan tertentu misal, kekuatannya tinggi, begitu ringan, meningkatkan kelincahan, membuat lawan pingsan sekali tebas, atau bisa memanjang laiknya tongkat Sun Go-Kong. Jadi, ini bukan semacam palu Mjolnir yang cuma bisa digunakan Thor, tapi seperti jubah Cape Crusader yang bisa dipakai oleh selain Bruce Wayne, atau perisai Vibranium yang tak hanya bisa digunakan Steve Rogers seorang. Saya tidak bisa benar-benar yakin dan tidak penasaran, apa sih kehebatan Tongkat Emas ini? [caption id="attachment_343293" align="alignnone" width="598" caption="Gerhana"]
[/caption] Pemilihan tongkat sebagai tools utama dalam film tidak tergambar. Meski seluruh adegan pertarungan memakai tongkat, tetapi tidak ada penjelasan mengapa tongkat menjadi spesial. Dalam kehidupan sehari-hari penduduk perkampungan, terlihat sesekali tongkat dimanfaatkan membatu kegiatan manusia, tetapi tidak memberi cukup alasan kuat, mengapa tongkat? Akan lebih baik bilamana film menjelaskan dengan singkat dalam narasi pembuka, atau percakapan antarpemain, perihal tongkat ini. Misal daerah tersebut kaya akan pepohonan seperti bambu, kehidupan penduduk yang nomaden sehingga tongkat jadi tools yang memudahkan pekerjaan, adanya cerita nenek moyang mengenai pendekar tongkat yang mencapai kemuliaan tertentu, atau adanya status sosial yang berbeda untuk mereka yang piawai memainkan tongkat. Ini bisa jadi daya tersendiri karena kekhasan film ini ternyata datang dari sebuah alasan yang masuk akal. Mungkin ini akibat saya terlalu banyak melihat film Barat, yang meskipun awal mula ceritanya imajinatif dan subjektif, tetapi pendekatan yang diambil saat penuturan kisahnya dicari serealistis mungkin sehingga penonton tidak banyak mempertanyakan korupsi logika yang terjadi “Loh, kok dia bisa gitu sih?” [caption id="attachment_343294" align="alignnone" width="600" caption="Sumber : https://themoviegoersblog.files.wordpress.com/2014/12/maxresdefault.jpg"]
[/caption] Isa Isfansyah memang membuat film ini kental dalam sentuhan drama. Beberapa adegan close-up dengan menitikberatkan ekspresi rajin disajikan, wajar karena film Indonesia memang suka mengeksplorasi emosi pemainnya. Dialog yang tersaji terkesan kaku, mungkin disebabkan keinginan menjaga kesan klasiknya, atau agar kesan antah-berantahnya sampai ke pemirsa karena tidak terdengar adanya aksen khas daerah tertentu. Ini juga jadi pertanyaan saya selama ini, kapan dan di mana sebetulnya setting cerita PTE ini. Sepertinya dua hal ini jadi misteri yang sengaja disimpan rapat-rapat, sampai akhir film pun pertanyaan ini tidak terjawab. [caption id="" align="alignnone" width="475" caption="Eva Celia, Tara Basro, Reza Rahadian, dan Nicholas Saputra di kala break latihan"]
[/caption] Tujuh bulan melatih aktor agar terampil beladiri harusnya jadi masa yang memadai, daripada memilih opsi menggunakan atlet beladiri sejati untuk latihan seni peran dalam kurun waktu yang sama. Namun, keterbatasan itu masih terlihat di film ini. Beberapa adegan pertarungan terlihat kurang greget. Perpindahan antar scene juga kurang smooth, barusan berantemnya gini kok selanjutnya ada yang beda ya. Banyak juga pengambilan gambar yang kurang pas, film ini terlalu banyak mengambil gambar dari arah depan, sepertinya untuk menekankan efek drama sekaligus mengurangi adanya fight scene yang tidak sesuai keinginan. Adegan berkuda pun hanya terlihat saat pengejaran Dara dan Angin, kurang dari tiga menit. Effort untuk menguasai teknik ini kabarnya menjadikan Tara Basro cedera selama latihan. Sepertinya ini bisa jadi pelajaran yang baik untuk para sineas ke depannya, bekerjasama dengan atlet dengan kemampuan beladiri untuk dilatih akting bisa memberikan hasil akhir scene laga sesuai keinginan apabila memang serius ingin menyajikan film laga. You guys do your best but sorry to say, saya kurang puas dengan adegan laga di film ini. Kecuali untuk peran Angin -- yang tulisan tersendiri tentangnya bisa dibaca di tautan ini, semua pendekar terlihat kewalahan bertarung. [caption id="attachment_343298" align="alignnone" width="700" caption="Lanskap Sumba, amboi!"]
[/caption] Apa hal paling saya sukai di PTE ini? Yes! Pemandangan Sumba yang sukses membius saya sepanjang pemutaran film ini. Eksplorasi alam yang dilakukan serupa dengan film Danau Hitam yang rilis belum lama ini. Setidaknya setiap kali saya merasa ada kejanggalan dalam cerita, pemandangan yang luar biasa elok sanggup menutupi kekurangan tersebut. Bukit, tebing, sungai, langit, rimba, sabana dan stepa yang ditampilkan betul-betul memanjakan mata dan hati saya selama nyaris dua jam. Saya patut memberi kredit khusus untuk tim sinematografinya dalam hal memaksimalkan Sumba sebagai latar tempatnya. It’s world class! [caption id="attachment_343303" align="alignnone" width="500" caption="Sumber : http://www.21cineplex.com/data/gallery/pictures/141835438336181_500x332.jpg"]
[/caption] Kemunculan Elang pascajatuhnya Dara dan Angin dari tebing, seketika membuat memori saya kembali ke beberapa film Indonesia lainnya. Saya bingung harus menyalahkan (si)apa, tetapi kemunculan NicSap di film ini tidak sanggup menghidupkan karakter Elang. Yang ada hanyalah Rangga, Joni, atau Gie yang berpetualang ke jaman pertengahan. Elang buat saya seolah-olah sosok Rangga yang menjadi time traveler dari tahun 2014, memanjangkan rambutnya serta tetiba ahli beladiri menggunakan tongkat, datang ke kehidupan orang sesuka hati lalu pergi meninggalkan sejuta kenangan begitu saja. Saya sengaja tidak menyinggung NicSap di awal karena selepas menyaksikan film ini saya akhirnya berkesimpulan, manakala Nicholas Saputra terlibat bersama Riri Riza dalam satu film, NicSap’s character would be predictable, unbeatable, but undoubtly (still) good. [caption id="attachment_343316" align="alignnone" width="700" caption="Cempaka (Muda) dan kekasihnya, Pendekar Naga Putih"]
[/caption] Kisah kasih Pendekar Naga Putih dan Cempaka sebetulnya bisa menjadi titik vital di film ini. Sebelum ini, penonton tidak sedikitpun diberikan clue bahwa jurus Tongkat Emas Melingkar Bumi merupakan couple-jutsu, istilah yang menurut saya lebih pas karena istilah jurus berpasangan terlalu sensitif bagi kaum jomblo. Manakala Darius (Pendekar Naga Putih) dan Prisia (Cempaka Muda) mewarisi jurus dari mahaguru mereka, keduanya berada dalam kondisi satu hati tapi beda visi, ceilah. Tongkat Emas dan jurus ini harus lestari, sedangkan pewaris jurus ini ialah Darius dan Prisia sahaja. Film PTE tidak menjelaskan seberapa lama hubungan keduanya, karena saya sendiri juga baru tahu kalau “pasangan” yang Cempaka maksudkan di awal cerita bukan hanya pasangan bertarung melainkan pasangan hidup. Dari sinilah semua kisah bermula, sebab Darius kala itu mulai mengalami kegalauan macam Sakti So7 atau Reza Noah yang merasa “Waktu gue buat mengejar dunia udahin aja, sekarang waktu buat akhirat”. Ia menyadari dunia persilatan tidak lagi menjanjikan baginya dan memutuskan berlepas dari gemerlap duniawi bersama bayi yang baru saja Prisia lahirkan. Sedangkan, saya menangkap Cempaka dipaksa mengorbankan egonya untuk melestarikan jutsu ini karena ialah satu-satunya pendekar yang bisa mewariskan Tongkat Emas beserta jurus Melilit Bumi untuk kebaikan dan menjaga perdamaian dunia. Kelak, bayi buah cinta Pendekar Naga Putih dan Cempaka ini menjelma menjadi lelaki ganteng yang tidak terkalahkan (you know who he is). [caption id="attachment_343306" align="alignnone" width="597" caption="Biru, Gerhana, Cempaka, Dara, Elang"]
[/caption] Saya menyayangkan sedikitnya slot waktu untuk mengisahkan Cempaka di film ini, baik ketika muda ataupun di akhir hidupnya. Pastinya ada konflik batin yang hebat dalam diri Cempaka muda, sebagai perempuan yang menggapai puncak karir sebagai pendekar nomor satu, mewarisi jurus mahaampuh dan tongkat sakti, memiliki kekasih yang diidam-idamkan perempuan umumnya, eh setelah melahirkan buah hati harus berpisah dengannya untuk selamanya. Cempaka ini luar biasa kuat, toh? Setelah itu, dia mengelola perguruan yang murid-muridnya keren hingga akhir hayat. Perempuan semacam ini punya potensi jadi Hokage kalau di film Naruto. Saya membayangkan Cempaka ini diperlakukan seperti sosok yang diperankan Michael Caine dalam setiap film yang dibuat Christopher Nolan, perannya mungkin kecil tapi selalu sentral. Kalaupun Cempaka mesti ditewaskan, akan lebih bagus bila filosofi hidupnya tidak hanya dihadirkan di awal, tetapi juga di tengah, dan di akhir cerita. Well, it’s just my opinion. [caption id="attachment_343309" align="alignnone" width="700" caption="Elang dan Dara berlatih Jurus Melingkar Bumi"]
[/caption] Konklusi : Pendekar Tongkat Emas adalah sebuah cerita klasik dengan pembawaan klasik. Alurnya mudah ditebak, tentu wajar karena ini merupakan adaptasi komik 70an yang ceritanya ringan dan mudah dicerna. Akhir ceritanya tetap menyuguhkan misteri yang memaksa penontonnya menerka-nerka, sebetulnya ada hubungan khusus enggak sih antara Elang dan Dara? Apakah kali ini NicSap tega meninggalkan Eva Celia, seperti ia meninggalkan perempuan di film lain sebelumnya? Apa yang selanjutnya dilakukan Dara bersama Tongkat Emasnya? Kira-kira adakah sekuel cerita dari PTE? Jawaban lengkapnya bisa Anda saksikan di bioskop terdekat! Saya sering ke bioskop untuk menonton film, tapi saya sangat jarang menyaksikan penayangan film karya sineas dalam negeri. Alasannya, saya memiliki standar yang relatif tinggi dibandingkan orang kebanyakan. Selain itu saya hanya akan melihat film yang sutradara, pemain, penulis cerita, atau produsernya ialah mereka yang memiliki rekam jejak yang baik dan sesuai selera saya. Mengikuti perkembangan film ini sedari awal menyebabkan saya tahu seluk beluk film ini, tetapi malah jadi bumerang sebab ekspektasi saya kelewat tinggi. Overall film Pendekar Tongkat Emas ini luar biasa. Ifa Isfansyah memang sukses memadukan drama dan laga, tetapi menurut saya Pendekar Tongkat Emas lebih sesuai disebut film drama yang dibumbui laga daripada film laga yang dibumbui drama. Bila dibandingkan dengan film dalam negeri lainnya, tanpa menghitung The Raid, film ini punya kualitas untuk menyabet berbagai penghargaan Insan Perfilman dalam negeri. Namun, untuk dibandingkan dengan film laga dari Asia Timur atau malah Hollywood, PTE belum mampu bersaing menurut saya. Yang menjadi catatan saya, karya ini merupakan sebuah lompatan besar menuju film laga lokal yang berkualitas berikutnya. Kegilaan (maaf, saya belum dapat kosakata yang sesuai untuk istilah ini hhehe) Mira Lesmana dan Riri Riza dalam film ini saya acungi 4 jempol. Semoga banyak pelaku industri kreatif perfilman yang ketularan bikin film untuk melampaui capaian Pendekar Tongkat Emas ini. You’ve done your best, guys. Let me do my part by giving opinion and support for a better Indonesian films! Referensi : https://www.facebook.com/PendekarTongkatEmas/ http://id.wikipedia.org/Pendekar_Tongkat_Emas http://www.imdb.com/title/tt4235342/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H