Lihat ke Halaman Asli

Alfin Nur Ridwan

Kader IMM Sukoharjo, Mahasiswa S1 Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surakarta

Letakan Gadgetmu, Lalu Berbicaralah

Diperbarui: 8 Oktober 2024   16:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kubuka sedikit pengalaman ini dari kata-kata seorang penulis terkenal asal Amerika, yang terkenal dengan karya-karya novelnya, bernama Libba Bray. Ia berkata bahwa, "Tidak ada kekuatan yang lebih besar di dunia ini selain cerita". 

Satu kalimat singkat namun sarat makna jika siapapun yang membacanya turut melakukannya. Melakukan apa? Bercerita. Sebuah hal sederhana yang sejatinya telah kita biasakan sedari kecil. Berawal dari segala perilaku di luar diri kita yang kita ceritakan pada orang tua, sampai pada dewasa ini story WhatsApp yang menjadi tempat kita bercerita soal dinamika hidup yang kita jalani.

Pada dasarnya memang bercerita merupakan naluri setiap manusia untuk berbagi pengalamannya kepada orang lain, tanpa orang lain harus turut melakukannya. Hal ini selaras dengan pandangan dari seorang psikolog asal Amerika, Jerome Bruner, yang menyebutkan bahwa bercerita merupakan sarana penting untuk memahami dunia dan menciptakan makna dari pengalaman manusia.

Inilah yang dalam beberapa tahun belakangan ini kumulai sering lakukan. Bercerita dengan orang-orang sekitar seputar apapun itu, dari berbagai macam karakter orang yang berbeda, serta watak dan sifat yang berbeda.

Bercerita, merupakan suatu hal yang kuanggap sangat mudah dilakukan, tanpa harus menguras pikiran, dompet, dan juga tenaga. Namun, di era kemajuan teknologi ini nampaknya bercerita langsung, bertatap muka dengan orang lain, dengan maksud bertukar cerita serta pendapat tentang apapun itu kian makin terkikis.

Dalam satu meja di tempat makan atau kopi pun misalnya. Keberadaan teman yang berjarak tak sampai satu meter di hadapan atau sampingnya pun terkadang tak diajaknya berbicara. Mata dan jari tangan seakan terlalu sibuk untuk tertunduk dan memberi perhatiannya pada gadget dalam genggamannya.

Memang, dalam bercerita tak semua orang akan mau dan berkenan bercerita apapun itu tentang dirinya pada orang lain. Namun pengalaman hidup selama 10 sampai 20 tahun tentunya bukan waktu yang singkat bagiku.

Kita terkadang terlalu larut sampai terhipnotis dengan benda kecil bernama "HP" tersebut. Apakah hal-hal lucu, sedih, romantis, jenaka, konyol, sampai di luar nalar yang membuatmu nyaman dengannya?. Bukankah teman dekatmu, teman di sampingmu juga memiliki pengalaman lucunya sendiri?. Bukankah momen kesedihan itu pasti dirasakan oleh setiap orang?. Apakah selama temanmu hidup tidak pernah menjumpai atau melakukan hal-hal konyol yang dapat mengocok perut siapapun yang mendengarnya?.

Masih sebagaimana apa yang ditulis oleh Jerome Bruner dalam bukunya yang berjudul, The Narrative Construction of Reality, terbitan tahun 1991. Ia menyebut bahwa, manusia adalah makhluk yang "berpikir secara naratif" (narrative thinking).

Bercerita adalah cara kita memahami dan memberi makna pada pengalaman. Melalui narasi, kita dapat mengaitkan peristiwa yang berbeda dalam hidup, membentuk rangkaian sebab-akibat, dan membuat pengalaman lebih terstruktur serta bermakna. Cerita membantu kita memahami dunia yang kompleks dengan membuatnya lebih koheren.

Tulisan ini tidaklah bermaksud untuk membatasi setiap pembaca dalam menatap layar Hpnya masing-masing, karena itu menjadi hak dari setiap kita. Tapi, cobalah untuk juga sering berinteraksi dan bercerita dengan orang lain, terkhusus orang di sekitar kita. Karena bagiku, salah satu cara mudah untuk bisa memahami orang lain ialah dengan kita berinteraksi dan bercerita dengannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline