Lihat ke Halaman Asli

Jiwa Menurut Psikologi Islam

Diperbarui: 28 Desember 2015   14:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDAHULUAN

            Setelah kelahiran psikologi kontemporer di dunia barat, banyak pengertian tentang psikologi yang ditawarkan oleh pada psikolog. Pengertian-pengertian oleh para tokoh psikologi kontemporer dapat disederhanakan menjadi tiga pengertian umum (Mujib & Muzakir, 2002). Ketiga definisi tersebut yaitu, psikologi sebagai ilmu tentang jiwa (studi Plato dan Aristoteles), psikolgi sebagai ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiranl; persepsi; intelegensi; kemauan dan ingatan yang dipelopori oleh Willhelm Wund. Dan yang terakhir adalah psikologi sebagai ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme yang dipelopori oleh John Watson. pengertian pertama lebih menekankan pada konsep tentang jiwa yang condong ke filosofisnya, sedangkan pengertian yang kedua bertujuan untuk memisahkan antara aspek psikologis dan filsafat dengan fokus pada keadaan mental dan pikiran meski belum sempurna. Sementara pengertian yang ketiga menunjukkan kemandirian ilmu psikologi yang benar-benar memisahkan diri dari filsafat. Tidak lagi sebatas hakikat jiwa, tetapi lebih cenderung pada gejala-gejala jiwa yang ditunjukkan melalui perilaku organisme.

            Psikologi secara etimologi memiliki arti ilmu tentang jiwa, sedangkan dalam Islam istilah jiwa ini dapat disamakan dengan istilah al-nafs, dan ada juga yang mengatakan al-ruh. Namun keduanya memiliki asumsi yang berbeda (Mujib & Muzakir, 2002).

            Sejauh ini psikologi kontemporer secara umum hanya mengakui tiga dimensi dalam menentukan perilaku manusia (Bastaman, 1995), yaitu dimensi raga (organo-biologi); jiwa (psiko-edukasi); dan lingkungan sosial budaya (sosio-kultural). Dimensi raga dipelajari dalam ruang lingkup kedokteran, sedangkan perilaku manusia dikaji dalam ilmu sosiologi dan antropologi. Namun selama kedua dimensi tersebut berkaian dengan dimensi kejiwaan, maka psikologi dapat dilibatkan.

Psikologi Islam sendiri mengakui adanya hembusan Ruh-Nya ke dalam diri manusia. Sejenis ruh yang teramat halus dan luhur yang dikaruniakan al-Rah,am al-Rahiim kepada manusia semata-mata (Bastaman, 1995). Dengan tujuan agar manusia memiliki hubungan ruhaniah dengan Allah SWT. Dengan demikian, dalam pandangan Islami ada empat dimensi yang terpadu pada diri manusia selama hidup, yaitu dimensi ragawi, kejiwaan, lingkungan dan ruhani.

PEMBAHASAN

            Pada umumnya para ahli membagi substansi manusia atas jasad dan ruh, tanpa memasukkan nafs (Mujib & Mudzakir, 2002). Masing-masing aspek yang berlawanan ini pada prinsipnya saling membutuhkan. Jasad tanpa ruh adalah benda mati, sebaliknya ruh tanpa jasad tidak dapat diaktualisasikan. Substansi jasmani adalah adalah bagian manusia yang terdiri dari struktur fisik. Dan fisik manusia lebih sempurna daripada organisme lainnya. Jasmani manusia memiliki natur sendiri. Al-Ghazali memberikan sifat komponen ini dengan dapat bergerak, memiliki rasa, berwatak gelap dan kasar, dan tidak berbeda dengan benda-benda lain (Daudy dalam Mujib & Mudzakir, 2002).

            Substansi yang selanjutnya adalah substansi ruh. Pembahasan tentang ruh dibagi menjadi dua bagian, yaitu ruh yang berhubungan dengan zatnya sendiri dan ruh yang berhubungan dengan badan jasmani (Mujib & Mudzakir, 2002).

            Ruh merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannya. Sebagian ahli menyebut ruh sebagai badan halus (jism lathif), ada substansi sederhana (jauhar basith), dan ada juga yang mengatakan substansi ruhani (jauhar ruhani). Sedangkan menurut Al-Ghazali dalam Mujib dan Mudzakir (2002), ruh merupakan lathifah (sesuatu yang halus) yang bersifat ruhani. Ia dapat berpikir, mengingat, mengetahui, dan sebagainya. Dan ia juga sebagai penggerak bagi keberadaan jasad manusia.

            Menurut Al-Ghazali pada diri manusia terkumpul sekaligus empat dimensi kejiwaan (Bastaman, 1995), yaitu dimensi ragawi (al-jism), dimensi nabati (al-natiyyah), dimensi hewani (al-hayawaniyyah), dan dimensi insani (al-insaniyyah). Sedangkan dimensi insani berkaitan dengan aspek intelektual,yaitu active intellect (‘aamilah) dan Cognitive Intellect (‘aalimah). Dimana setiap dimensi memiliki tugas dan fungsinya masing-masing, baik yang teramati maupun yang tidak dapat teramati.

            Dimensi al-natiyyah memiliki dua fungsi, yaitu fungsi nutrisi (al-qhaadiyyah) dan fungsi reproduksi (al muwallidah). Sementara pada dimensi al-hayawaniyyah, memiliki fungsi motivasi (al-mubarrikah) dan fungsi persepsi (al-mudrikah). Yang keduanya tersebut dikatakan Al-Ghazali sebagai pasukan hati (Bastaman, 1995). Dimana pasukan tersebut memiliki cabang fungsi lagi yang jumlahnya pun tidak diketahui secara pasti, misalnya motivasi yang memiliki dua daya. Dua daya tersebut adalahdaya pembangkit dan pendorong, yang menggerakkan tubuh dan aktifitas manusia dan mencerminkan adanya kemauan dan kemampuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline