Krisis kesepakatan nuklir yang terjadi antara Iran, Amerika Serikat, dan Uni Eropa semakin berbuntut panjang. Setelah Amerika Serikat di bawah Donald Trump secara sepihak membatalkan perjanjian nuklir tersebut dan ditanggapi secara skeptis oleh para perwakilan Iran, hubungan kedua pihak semakin memanas.
Belum lagi, John Bolton, mantan penasihat keamanan nasional Amerika Serikat pernah menyatakan akan menyerang Iran habis-habisan dari laut dan udara terkait dengan adanya hasil pantauan intelijen yang menunjukkan bahwa mereka siap menasionalisasi Selat Hormuz dan menempatkan basis kekuatan militer mereka di sana.
Secara rinci, disebutkan bahwa kekuatan militer Amerika Serikat yang akan diberangkatkan ke Iran berupa sebuah armada tempur kapal induk beserta kapal-kapal pengawalnya, satu skuadron pesawat pengebom, dan 120.000 pasukan tempur infantri.
Namun, pihak AS sendiri belum mengklarifikasi pernyataan tersebut. Donald Trump pun mengatakan bahwa tindakan tersebut hanya dilakukan apabila "situasi mendesak dan benar-benar diperlukan".
Pada Juni lalu, sebenarnya AS telah mulai mengambil tindakan dengan mengirim drone RQ-4 Global Hawk sebagai sarana pengintaian untuk memantau wilayah udara Iran. Inilah yang nantinya akan memantik api krisis Hormuz menjadi semakin besar.
Pasukan Pengawal Revolusi Iran berhasil menembak jatuh drone tersebut dan memberikan pernyataan bahwa AS berusaha melakukan 'perang proksi' dengan melakukan pengintaian wilayah Iran hingga memasuki wilayah udara negara tersebut. AS mengelak, mereka menyatakan tidak memasuki wilayah udara Iran dan hanya melakukan pengintaian dari wilayah laut internasional.
Adu argumentasi ini sejalan dengan rentetan insiden sabotase kapal tanker yang melewati Teluk Persia dan Selat Hormuz, terutama pada kapal tanker milik negara-negara sekutu Barat sejak Mei hingga Agustus.
Total terjadi total terjadi sembilan kali insiden yang melibatkan kapal tanker di pihak AS dan sekutunya, yaitu Irak, Inggris, Arab Saudi, Norwegia, dan Jepang, sementara Iran hanya mengalami sekali insiden, ketika sebuah kapal tanker Iran berbendera Panama, Grace 1 dihentikan oleh otoritas Inggris di Gibraltar karena dianggap menyelundupkan minyak kepada Suriah, yang berarti melanggar sanksi ekonomi. Meskipun begitu, belakangan kapal tersebut dilepas oleh Inggris pada 15 Agustus.
Rentetan insiden tersebut seolah mengulang kejadian pada 1984-1987, ketika puncak Perang Iran-Irak. Teluk Persia menjadi pusat konflik kedua negara. Tensi begitu tinggi, hingga kedua negara mengasah kekuatan mereka untuk saling adu serang kapal tanker. Iran berusaha menguasai Selat Hormuz dengan menyerang seluruh kapal milik Irak dan sekutunya yang memasuki Teluk Persia. Sebaliknya, Irak dengan kekuatan angkatan laut dan udaranya menyerang seluruh kapal tanker yang diketahui membawa minyak Iran, dari negara apapun.
Mengapa Iran ingin menguasai Selat Hormuz sepenuhnya sejak lebih dari 30 tahun lalu? Secara geopolitik, Selat Hormuz merupakan akses yang lebih dari sekadar strategis.
Sebagai satu-satunya pintu masuk ke Teluk Persia, selat ini menjadi pusat lalu lintas utama minyak ke seluruh dunia. Iran, yang pada tahun 2018 memproduksi lebih dari 3,8 juta barel minyak tentu membutuhkan selat tersebut.