Lihat ke Halaman Asli

Alfin Febrian Basundoro

Menuliskan isi pikiran, bukan isi hati

Etnosentrisme, Biang Disintegrasi Eropa

Diperbarui: 24 November 2018   13:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

nationsonline.com

Sepanjang lima tahun terakhir, terjadi pergesaran situasi politik yang signifikan di Eropa, yang pada awalnya didominasi oleh kalangan liberal-sosialis yang pro persatuan Eropa (Uni Eropa) kini dikuasai kalangan populis-nasionalis yang banyak diantaranya menolak ide Uni Eropa atau biasa disebut Euroskeptisme.

Salah satu faktor yang mendasari kuatnya euroskeptisme dalam arena politik di Eropa pada dekade ini adalah paham nasionalisme. Kemenangan kalangan populis-nasionalis di Italia menjadi contoh nyata. Banyak pihak melihat kemenangan kalangan populis tersebut sebagai pertanda bahwa Italia akan menjadi layaknya Inggris, yang mundur dari Uni Eropa pada 2016 (Brexit), yang dapat membuat organisasi regional tersebut terpecah belah. Nasionalisme dalam masyarakat di negara-negara Eropa amat erat kaitannya dengan paham etnosentrisme, yang seolah sudah menjadi ciri khas masyarakat Eropa.

Sebagian besar negara-negara Eropa memiliki suatu etnis tunggal yang mendominasi masyarakat negara tersebut dan dasar terbentuknya negara-negara Eropa adalah pengaruh kuat etnis tersebut, sebagai contoh, Prancis yang didominasi etnis Gaul-Latin atau Jerman dan Austria yang penduduknya merupakan etnis Jermanik.

Apabila dilihat dari aspek historis, etnosentrisme di Eropa sudah ada sejak era Yunani-Romawi kuno, pada saat itu banyak suku dan etnis yang membentuk negara-negara kecil sebelum bangsa Yunani (dan selanjutnya Romawi) menguasai wilayah suku-suku tersebut. Banyak di antara tribe tersebut yang menolak hadirnya suku lain ke dalam wilayahnya dan selalu menggunakan konfrontasi fisik guna menghadapi suku lain.

Bangsa Romawi dengan etnis Latinnya yang kekuatan militer dan ekonominya lebih kuat memiliki wilayah yang luas dan mampu menaklukkan suku lain ke dalam kekuasaannya. Dan lagi-lagi, pembagian provinsi-provinsi dalam wilayah Romawi dilakukan berdasarkan etnis dalam provinsi tersebut.

Setelah era Romawi Kuno berakhir, banyak terbentuk negara-negara baru di Eropa yang merdeka dan memiliki pemerintahan sendiri. Etnis Latin sendiri memisah menjadi beberapa negara, di antaranya Prancis, Portugal, Spanyol, dan Rumania. Etnis Skandinavik yang dikuasai oleh bangsa Viking sejak abad ke-9 hingga ke-13 terbagi pula menjadi Denmark, Swedia, dan Norwegia. Sementara itu, di Eropa timur berkembang ras Slavia yang terbagi menjadi belasan negara.

Pendeknya, setiap wilayah di Eropa memiliki etnisnya masing-masing dan masyarakatnya amat membanggakan etnis mereka sendiri. Tak jarang, sepanjang abad pertengahan hingga era Renaisans, terjadi konflik antarwilayah di Eropa yang melibatkan negara-negara dengan etnis yang sama melawan etnis lain.

Konsep negara "tribal states" yang terbentuk di Eropa membuat kebudayaan antarnegara terdiferensiasi dengan baik bahkan banyak negara yang memiliki abjadnya sendiri. Tiga abjad yang mendominasi adalah abjad Latin (di wilayah Barat dan Utara), Yunani (di wilayah Yunani, Macedonia, Anatolia, dan sekitarnya), dan Sirilik (di wilayah etnis Slavik Eropa Timur).

Hingga era modern pun, etnosentrisme masih memainkan pengaruh yang cukup besar dalam kondisi percaturan politik di Eropa. Perang Dunia I yang juga disebut sebagai perang negara-negara Eropa dan Perang Dunia II menjadi cerminan etnosentrisme tersebut. Pada Perang Dunia II, Adolf Hitler dan Nazi-nya mengampanyekan keunggulan ras Arya dan nasionalisme bangsa Jermanik.

Dengan kampanye tersebut, Nazi begitu mengunggulkan ras Arya dan melakukan tindakan represif terhadap etnis lain yang ada di Jerman saat itu, seperti Yahudi, Slavik, dan Latin. Mussolini sebagai pemimpin Italia juga mengampanyekan fasisme yang menekankan pada nasionalisme ekstrem, dan tentu saja mengagungkan bagsa Italia.

Hingga pada era 90-an, Yugoslavia yang terdiri atas 6 "negara bagian" terpecah belah dalam perang saudara yang disebut manjadi "konflik terburuk Eropa pasca Perang Dunia II", dan setiap negara bagiannya memerdekakan diri. Salah satu casus belli (penyebab utama) dari kasus tersebut adalah etnosentrisme masyarakat di negara-negara bagian Yugoslavia yang ingin membentuk negara sendiri berdasarkan ras masing-masing.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline