Lihat ke Halaman Asli

Perbankan Syari'ah dalam Pusaran Stigma

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Eksistensi dunia perbankan syari’ah dalam konteks Indonesia modern dapat ditelusuri dengan kemunculan Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992. Mengingat ketidakberdayaan bank syari’ah jika hanya berjalan sendiri maka pada tahun 1994 muncul lembaga keuangan asuransi syari’ah pertama yakni Asuransi Takaful. Sejak kemunculannya tersebut pertumbuhan perbankan syari’ah sangat mengagumkan. Menurut data Bank Indonesia, pada interval 1999-2008 peningkatannya terjadi hingga 44 kali lipat bahkan pada 2001-2002 mencapai 216%. Memang tak dapat dipungkiri dibandingkan sektor konvensional perbankan syari’ah masih kalah jauh. Pada 2009 saja pertumbuhannya hanya sekitar 2,2% tetapi menilik pada pertumbuhan yang sangat signifikan banyak kalangan yang optimis ke depan ia akan fenomenal dimana eksistensinya akan dinanti-nanti (1).

Dalam perjalanannya yang menunjukkan fakta menarik tersebut, ternyata masih ada saja kalangan yang berusaha “menghambat” laju pertumbuhan anak yang terlahir kembali ini, sebut misal Zaim Saidi yang menelurkan buku Tidak Syar’inya Bank Syari’ah di Indonesia dan Jalan Keluarnya Menuju Muamalat. Direktur Wakala Induk Nusantara tersebut mengatakan ada 3 kesalahan fundamental yang dilakukan oleh mereka yang menyetujui eksistensi bank syari’ah, pertama, fiat money baginya merupakan dayn dimana haram hukumnya untuk memakai uang kertas dalam proses transaksi publik. Kedua, menyembunyikan bunga sebagai keuntungan. Terakhir, menerapkan prinsip-prinsip hukum transaksi dalam syari’ah seperti murabahah (sistem jual beli dengan memakai margin pada harga), syirkat (kemitraan usaha) atau mudarabah/qirad (kemitraan dagang) dan wadi’ah atau penitipan, dimana transaksi tersebut menurut Zaim Saidi tidak sesuai dengan prakteknya dalam tradisi Islam. Kemunculan buku tersebut kian menambah daftar panjang stigma negatif terhadap keberadaan dunia perbankan syari’ah di tanah air. Di tengah kemunculan dan pertumbuhannya yang menunjukkan prestasi positif meskipun masih tergolong anak bau kencur dalam percaturan perbankan nasional, stigma negatif bermunculan akibat topangan-topangan ide yang terkesan hendak “menghapus” eksistensi perbankan syari’ah. Sebut misalnya, nisbah hanyalah nama lain dari bunga yang disinyalir sebagai riba; mengutang ke bank syari’ah dianggap lebih mahal karena angsuran tetap khususnya untuk skema murabahah dalam KPR hingga klaim bahwasanya bank syari’ah hanya milik umat Islam.

Sebenarnya kita tak dapat menyalahkan sepenuhnya atas kemunculan dan berkembangnya sinyalemen negatif tersebut tetapi menjadi naif kiranya jikalau kita menelan mentah-mentah. Secara umum ada perbedaan mendasar atas transaksi yang terjadi di bank syari’ah dibandingkan bank-bank konvensional dimana esensi dan aqadlah yang membedakan. Bahkan misal untuk margin yang terkadang dianggap lebih mahal justru dengan nilai angsuran yang tetap tiap kali mengangsur dengan jangka waktu yang disepakati akan membuat ia tahan terhadap krisis atau inflasi yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Maka tak heran jika banyak pihak yang mengambil KPR ke perbankan syari’ah.

Klaim yang amat miris adalah perbankan syari’ah hanya milik umat Islam. Ini menjadi aneh mengingat Inggris dan Singapura misalnya justru lebih dulu mengawali bahkan Inggris berinisiatif untuk menjadi center bagi perbankan syari’ah dunia dan Singapura di level Asia Tenggara. Jika kita komparasikan misalnya dengan istilah demokrasi atau pun sistem pendidikan yang tengah kita jalankan dalam konteks nasional jelas merupakan aplikasi atas konsep Barat dan mengapa kita tidak mengatakan itu merupakan konsep non-Muslim. Bagi saya yang terpenting adalah bagaimana kita merumuskan sesuatu yang dapat bermanfaat bagi khalayak ramai, karena nilai-nilai universal itu tetaplah fakta darimanapun asalnya.

Pemberian stigma negatif yang terkadang tak berdasar justru akan semakin mereduksi upaya-upaya yang telah dan tengah dirintis demi perbaikan ke depannya. Semisal istilah dalam perbankan syari’ah misalnya memakai bahasa Arab lalu apa masalahnya? Dia juga merupakan rumpun bahasa anak manusia. Jikalau kita terbiasa mengatakan i love you atau homesick bahkan nge-date, bukankah itu juga merupakan istilah asing yang kebetulan dari bahasa Inggris bahkan dimana-mana kita temui hampir semua tempat dan wahana memakai bahasa Inggris dan kita fine saja senyampang dia komunikatif dan dapat dimengerti oleh publik, antara komunikator dan komunikan paham, menurut penulis, hal itu sah-sah saja.

Oleh karena itu, tepat kiranya apa yang pernah disampaikan oleh salah satu pakar ekonomi syari’ah, Adiwarman Karim (2010), yang mengatakan “ Kita ini in the process of being kafaah”. Masalah penggunaan fiat money, ini tentunya masih bisa masukkan dalam konteks adhdharurah dalam kaidah fiqih dan di dalam implementasi hukum ada proses pentahapan (at-tadarruj) sehingga bukan ujug-ujug sesuatu itu yang masih dalam taraf pengimplementasian harus dihukumi tidak boleh atau terlarang. Segala sesuatunya masih membutuhkan proses. Dus, perjalanan dari nothing to something itu membutuhkan proses yang tidak instan. Bahkan umat zaman nabi-nabi berkenan beriman tidak dalam hitungan bulanan, ada yang tahunan bahkan puluhan tahun. Idealnya memang kita patokan dinar-dirham karena Allah SWT menyebut dan Muhammad SAW pernah mengatakannya, tetapi fakta di lapangan stok keduanya sangat terbatas (kondisi masaqat) sehingga demi kelancaran penggunaan fiat money dihukumi mubah. Kalau masih memaksa akan menimbulkan pertumbuhan ekonomi stagnan dan pemenuhan hajat hidup menjadi terhambat. Bukankah ini akan menimbulkan akan yang lebih buruk (mafsadat) sehingga menurut kaidah ushul fiqih, menghindari kerusakan untuk kepentingan hajat publik menjadi ditolerir. Penggunaan mata uang seperti fiat money semampang disepakati oleh pemimpin masih diperbolehkan[2]. Jangan sampai upaya demi upaya yang telah dan tengah dilakukan dilakukan ini kemudian menimbulkan runtuhnya semangat (futur) di antara kita untuk menuju eksistensi perbankan syari’ah yang mendekati bentuk ideal bahkan kaffah. Marilah kita bergerak menuju kebaikan dengan saling memperingati dan memberikan masukan –tentunya dengan cara yang santun- serta sinergis dalam upaya menuju apa yang dicita-citakan dengan sekali lagi berpegang teguh pada prinsip we are still in process to be kafaah. Proses instan tak pernah terjadi kecuali adanya campur tangan Tuhan. Selamat bertransaksi dengan perbankan syari’ah dan kita berharap wujud idealnya dapat kita jumpai dan rasakan pada saatnya. Semoga!

©Bustomi[3]

(1) Disarikan dari berbagai sumber. Tulisan ini adalah pandangan pribadi.

[2] Lihat misalnya pendapat yang dipakai oleh Ibnu Qudama, Ibnu Khaldun, Ibnu Hazam, Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah.

[3] Korespondensi email: akubisa_tommyheaven@yahoo.com atau @bushtommy atau FB Bustomi Menggugat

Tulisan ini dibuat di tengah kebuntuan di kantor

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline