Apa hadiah terindah yang telah kita beri untuk orang-orang terkasih?
Pernah dengar cerita seorang pria yang memotong senja di sebuah pantai, lantas memasukkannya ke dalam amplop, lalu dikirim ke pacarnya yang beralamat di ujung dunia lewat seorang tukang pos? Kalau belum, segera baca buku ini. Mana tahu nanti bisa jadi inspirasi, kan? Hehehe...Pertama kali saya tertarik dengan buku ini adalah ketika melihat sebuah video pembacaan cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku oleh Abimana Aryasatya di Youtube.
Well, dulu saya juga dihantui oleh pemikiran-pemikiran seperti itu. Nyatanya, di dalam buku SSUP karya SGA ini tidak hanya ada cerpen tersebut. Buku ini berisi 16 cerpen tentang senja yang terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu Trilogi Alina (3 cerpen), Peselancar Agung (10 cerpen), dan Atas Nama Senja (3 cerpen). Namun, pada tulisan kali ini saya hanya akan membahas bagian pertama dari buku ini.
Bagian pertama merupakan Trilogi Alina yang berisi tiga cerpen yaitu Sepotong Senja Untuk Pacarku, Jawaban Alina, dan Tukang Pos dalam Amplop. Ketiga cerita ini saling berhubungan satu sama lain dan disajikan secara "tidak masuk akal".
Bagaimana tidak? SGA menuliskan alur yang mungkin tidak pernah terbayang dalam pikiran manusia, setidaknya manusia itu adalah saya. Nyatanya cerita ini dikembangkan oleh SGA dengan apik hingga saya dibuat berimajinasi begitu liar sambil tetap menikmati cerita yang saya baca.
Cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku bercerita tentang seorang pria bernama Sukab yang suatu hari sedang duduk seorang diri di tepi pantai. Ketika senja mulai nampak, dia tiba-tiba teringat dengan kekasihnya, Alina. Barangkali senja ini bagus untuk Alina, pikirnya.
Maka Sukab kemudian memotong senja itu, lalu dikerat di keempat sisinya, kemudian dimasukkannya senja tersebut ke dalam sakunya. Senja ini nantinya akan dikirimkan lewat tukang pos. Semua ini dilakukannya semata-mata untuk Alina. Akibatnya, terjadi aksi kejar-kejaran dengan polisi karena adanya laporan tentang senja yang telah hilang karena diambil oleh Sukab.
Cerita diatas hanyalah gambaran kecil dari keseluruhan cerita yang ditulis oleh SGA. Dalam tulisannya, terselip beberapa kalimat yang saya pikir adalah sebuah sindiran kepada manusia. Contohnya adalah seperti ini:
"Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagipula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi."
Betapa kesibukan telah membuat kita lupa untuk setidaknya menikmati keindahan alam semesta. Coba pikirkan kembali, sudah berapa banyak waktu yang telah kita korbankan untuk mengejar pencapaian tertentu dan lupa memberi kesempatan pada diri sendiri untuk sekadar menikmati dan merenungi betapa dunia yang indah ini diciptakan untuk kita. Amatilah sejenak, minimal kita akan dibuat terpukau.
Di bagian awal paragraf, terdapat pula kalimat yang saya pikir juga merupakan sebuah sindiran. Kalimatnya adalah seperti ini: