Lihat ke Halaman Asli

Metode Reward dan Punishment untuk Meningkatkan Sosial Emosional pada Anak Usia 4-6 Tahun

Diperbarui: 14 Desember 2021   18:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Anak usia TK (4-6 tahun) perkembangan sosialnya sudah mulai berjalan. Hal ini tampak dari kemampuan mereka dalam melakukan kegiatan secara berkelompok atau bersama seperti sebuah permainan. Tanda-tanda perkembangan pada tahap ini bisa dilihat dari anak yang mulai mengetahui aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan bermain, sudah mulai tunduk pada peraturan, dan mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain. Dari sisi sosial emosional, kegiatan bermain dan konflik-konflik di dalamnya bertujuan untuk melatih anak dalam memahami perasaan serta sudut pandang berbeda dari diri sendiri dengan orang lain.

Kostelnik, Soderman dan Waren (Yahro, 2009) menyebutkan bahwa perkembangan sosial meliputi kompetensi sosial dan tanggung jawab sosial. Kompetensi sosial menggambarkan keefektifan kemampuan anak dalam beradaptasi dengan lingkugan sosialnya. Misalnya anak ingin bergantian dengan teman lainnya dalam sebuah permainan. Lalu, tanggung jawab sosial menunjukkan komitmen anak terhadap tugasnya, menghargai perbedaan, memperhatikan lingkungan, dan mampu menjalankan fungsinya.

Perkembangan sosial selama 2 tahun pertama meliputi perkembangan tanda-tanda sosial di antara teman sebaya. Gaya sosial pada masa toddler (usia 1-3 tahun) berhubungan dengan sejarah kelekatan. Sedangkan, perkembangan empati anak sudah mulai sejak usia 12 bulan, yaitu saat bayi merespon kesedihan orang lain.

Para peneliti juga telah menemukan bahwa anak berusia 4 tahun sudah bisa memahami bahwa orang dapat membuat pernyataan yang tidak benar untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dan menghindari masalah, atau kata lainnya berbohong. 

Sebagai contoh, sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa anak usia 4-5 tahun semakin skeptis terhadap keluhan sakit yang dilontarkan temannya ketika ia tahu bahwa temannya melakukan hal tersebut untuk menghindari keharusan pergi berkemah. Namun, pada usia 4 tahun, anak belajar memutuskan siapa yang harus dipercaya dengan menghitung seberapa sering pembuat informasi melakukan kesalahan.

Tak hanya sosial, anak-anak terus berkembang, begitu pun kesadaran dirinya mengenai emosi. Mereka akan merasakan rentang emosi yang lebih luas lagi dan lagi dari sesuatu yang sudah mereka rasakan atau pelajari sebelumnya. Rasa sedih, marah, malu, senang merupakan contoh bahwa mereka telah berkembang secara emosi.

Usia 2-4 tahun secara signifikan meningkatkan jumlah istilah yang mereka gunakan untuk menggambarkan emosi. Selama rentang tersebut, mereka juga belajar tentang penyebab dan konsekuensi dari perasaan. Ketika anak berusia 4-5 tahun, mereka menunjukan peningkatan kemampuan untuk merefleksiakan emosi. Mereka juga mulai memahami bahwa peristiwa yang sama akan menimbulkan perasaan yang berbeda pada orang yang berbeda. 

Lalu, pada usia anak 5 tahun, sebagian besar anak-anak dapat secara akurat menentukan emosi yang dihasilkan oleh keadaan-keadaan yang menantang dan menggambarkan strategi yang dapat mereka gunakan untuk mengatasi stres sehari-hari. Adapun pengaturan emosi pada anak merupakan aspek penting perkembangan.

Maka dari itu, bukan hanya guru saja, orang tua juga memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan sosial emosional anak. Orang tua bisa membantu melebeli emosi yang dirasakan oleh anak maupun mengajarkan bagaimana caranya agar anak dapat menangani emosi dengan cara yang efektif. Menurut Sukatin dan kawan-kawan, emosi pada anak memiliki karakter tersendiri, sepeti berlangsung secara singkat dan berakhir secara tiba-tiba, memiliki volume yang lebih kuat atau tinggi dari orang dewasa, dan bersifat sementara.

Setelah membahas mengenai sosial emosional, adapun salah satu cara disiplinnya yaitu dengan menggunakan metode reward dan punishment. Menurut Ni'mah Afifah dalam jurnalnya yang membahas permasalahan serupa, dia menjabarkan, "Reward dipandang sebagai sebuah penguatan positif (reinforcement) untuk memunculkan suatu perilaku positif dan sebagai bentuk apresiasi atas sebuah tindakan positif yang telah dilakukan."

Reward bisa berupa hadiah atau apresiasi. Hadiah yang diberikan kepada anak didik hendaknya bersifat mendidik. Dalam memberikan hadiah, guru harus mengenal betul karakter anak didiknya dan juga tahu hadiah seperti apa yang layak diberikan kepada anak didik. Lalu, hadiah atau penghargaan hendaknya tidak menimbulkan iri hati kepada anak didik yang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline