Lihat ke Halaman Asli

RUU Aparatur Sipil Negara: Revolusi yang Dibutuhkan

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harian Kompas dan Media Indonesia pada 21 September 2012 lalu memuat artikel hasil wawancara dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Sekjen Kemendagri) tentang Rancangan Undang-undang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN). Dikatakan bahwa RUU ASN melecehkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) karena pola karir PNS ditentukan oleh non-PNS. Selain itu pembentukan Jabatan Eksekutif Senior (JES) disebut sebagai terlalu bombastis. Pada intinya, beliau menolak keberadaan RUU ASN.

RUU ASN memang menjadi buah bibir akademisi, pemerhati, dan pelaksana administrasi negara selama setahun terakhir. RUU ini menjadi pembicaraan hangat karena sejumlah rencana perubahan yang akan terjadi dengan perubahan sistem kepegawaian (civil service system) di Indonesia. Detail perubahan yang terdapat dalam RUU ASN akan saya tuliskan dalam artikel selanjutnya, namun pada prinsipnya, perubahan mendasar dalam RUU ASN mencakup tiga hal: pembagian ASN, pembinaan ASN, dan sistem karir ASN.

Dalam RUU ASN, aparatur sipil negara terbagi atas PNS dan pegawai tidak tetap pemerintah (PTT). Pembagian ini menjadi penting karena PTT merupakan fenomena yang tidak dapat terhindarkan. PTT akan mengakomodasi kebutuhan atas tenaga tidak tetap untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang diperlukan dalam organisasi, namun tidak harus dilakukan oleh pegawai berstatus PNS. Pengaturan tentang ini akan menjadikan sistem kepegawaian lebih modern dan dinamis terhadap kebutuhan organisasi.

RUU ASN juga mengatur tentang pembinaan ASN yang dilakukan oleh beberapa instansi, yaitu Kementerian PAN dan RB, Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Lembaga Administrasi Negara (LAN). Selama ini, pembagian peran antara ketiga instansi tidak jelas dan tumpang-tindih, sehingga menyulitkan instansi lain di pusat dan daerah dalam melaksanakan pengelolaan PNS. Selain itu, akan dibentuk pula Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Komisi ini akan berperan mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan pembinaan profesi ASN dan melaksanakan seleksi calon pemangku JES. JES sendiri adalah konsep baru, yaitu para pejabat tinggi di instansi (kementerian/lembaga/pemda) yang memiliki peran strategis dalam memastikan tercapainya tujuan instansi dan tujuan nasional. Mengingat strategisnya peran JES, maka penempatan seorang pejabat dalam posisi JES harus diawasi oleh masyarakat. KASN melaksanakan peran ini, karena keanggotaan KASN akan terdiri dari perwakilan pemerintah, akademisi, organisasi ASN, dan profesional sektor swasta.

Penolakan Sekjen Kemendagri terhadap KASN memiliki alasan bahwa kita memiliki terlalu banyak organisasi. Saya setuju dengan pernyataan itu, tapi menjadikan itu sebagai alasan menolak KASN adalah penyederhanaan berlebihan atas masalah. Dalam sebuah negara, birokrat adalah pelayan (agent) dari rakyat (principal). Ketika rakyat menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah untuk menjalankan negara, rakyat selayaknya tetap memiliki akses untuk mengontrol pemerintah. Kontrol yang paling baik adalah melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dipilih langsung oleh rakyat. Akan tetapi, untuk sejumlah isu yang sangat strategis, dibutuhkan suatu mekanisme kontrol langsung dalam suatu organisasi yang berbentuk semi-pemerintah (quasi-government organisation). Mengingat masalah birokrasi adalah masalah besar bagi Indonesia (dengan selalu didengungkan Presiden di berbagai kesempatan), maka sudah selayaknya rakyat diberi akses terlibat langsung dalam pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan birokrasi.

Terkait sistem karir PNS dalam RUU ASN yang juga dikeluhkan Sekjen Kemendagri, perlu diketahui bahwa RUU ASN memperkenalkan sistem pengisian jabatan lintas-instansi berbasis lamaran. Artinya, apabila terdapat jabatan kosong di suatu pemerintah daerah, maka seorang PNS dari pemerintah daerah lain atau dari instansi pusat dapat mengajukan lamaran untuk mengisi jabatan tersebut (tentunya dengan memperhatikan kelayakan secara kompetensi dan administratif dari PNS tersebut). Hal ini sesungguhnya adalah penguatan dari sistem unified personnel system yang dianut oleh Indonesia.

PBB pada tahun 1940-an memperkenalkan tiga sistem utama pengelolaan kepegawaian negara, yaitu separated personnel system (SPS), integrated personnel system (IPS), dan unified personnel system (UPS). Dalam SPS, setiap instansi diberikan kebebasan mengatur dan mengurus sistem kepegawaiannya, sehingga terdapat fleksibilitas tinggi. Namun demikian, sistem ini kurang tepat diterapkan di negara kesatuan dengan luas wilayah besar seperti Indonesia, karena akan melahirkan kesenjangan antara daerah satu dengan daerah lain. Sementara itu, IPS berada pada kutub yang berbeda dengan SPS, yaitu seluruh pengaturan dan pengurusan kepegawaian negara tersentralisasi di pemerintah pusat. UPS berada di tengah kedua kutub tersebut, yaitu dengan pengaturan umum sistem kepegawaian diletakkan di pemerintah pusat, sedangkan pengurusan sehari-hari dilakukan oleh masing-masing instansi. Indonesia menganut sistem ini untuk menjamin kelangsungan negara kesatuan.

Dalam RUU ASN juga dimungkinkan dijabatnya posisi JES oleh pihak non-PNS apabila kompetensi yang dibutuhkan untuk jabatan tersebut tidak dimiliki oleh PNS. Tentunya akan ada sejumlah pengaturan untuk ini, agar tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politis. Penghindaran atas kepentingan politis juga diatur dalam RUU ASN, yaitu dengan meletakkan posisi Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) kepada Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris Daerah. Saat ini, PPK di setiap instansi dijabat oleh pejabat tertinggi di instansi tersebut, yaitu Menteri untuk Kementerian, Gubernur untuk Provinsi, Walikota untuk Kota, dan Bupati untuk Kabupaten. Dengan sistem yang berlangsung sekarang, politisasi birokrasi sangat mungkin terjadi, karena PPK adalah pemegang kuasa tertinggi atas pengurusan kepegawaian di instansi. Seringnya terjadi mutasi Kepala Dinas dan penempatan Kepala Dinas tanpa memerhatikan latar belakang kompetensi pejabat yang bersangkutan, salah satunya diakibatkan sistem ini.

Terhadap semua dasar tersebut, maka sesungguhnya tidak ada alasan untuk menolak RUU ASN. Bahwa RUU ASN adalah sebuah perubahan besar, saya setuju. Tapi, seperti dikatakan Senge dalam bukunya Necessary Revolution, jika kita sudah menemukan pengungkit yang tepat dalam melakukan perubahan besar ke arah yang lebih baik, maka revolusi tersebut adalah revolusi yang dibutuhkan.

Mari berbuat untuk Indonesia yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline